Rabu, 08 Juli 2015

Subjek dan Objek Pajak

Subjek Pajak
A.    Subjek Pajak Penghasilan
Dalam UU PPh tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan subjek PPh, namun secara umum pengertian Subjek Pajak adalah siapa yang dikenakan pajak. UU PPh menegaskan ada tiga kelompok yang menjadi subjek PPh, yaitu:
1.     Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sevagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2.     Badan yang terdiri dari Perseraoan Terbatas, perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, Persekutuan, Perkumpulan, Firma, Kongsi, Koperasi, Yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pension, dan bentuk badan usaha lainnya.
3.     Bentuk Usaha Tetap
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Misalnya tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, pabrik, bengkel, dan gedung kantor.
Sejak PPh dibedakan antara subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek dalam negeri adalah :
1.     Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas0 bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di indoensia dan mempunyai niat ubtuk bertmpat tinggal di Indonesia.
2.     Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
3.     Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Sementara itu, yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri adalah :
1.     Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
2.     Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia yang dapa menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Subjek pajak dalam negeri akan menjadi Wajib Pajak (WP) apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan, sedangkan subjek pajak luar negeri sekaligus menjadi WP sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui BUT di Indonesia.
Pada prinsipnya subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia, keberadaan orang  pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan tiga hari tidaklah harus berturut – turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 9dua belas0 bulan sejak kedatangannya di Indonesia. Dalam hal ini orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri.
Perbedaan penting antara sujek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri diketahui terutama dalam hal pemenuhan kewajiban pajaknya, yaitu :
1.     Subjek pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia, sedangkan subjek pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan yang bersumber dari Indonesia.
2.     Subjek pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tariff umum, sedangkan subjek pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan (proporsional).
3.     Subjek pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) sebagai sarana menghitung pajak yang terutang, sedangkan subjek pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan karena kewajiban pajaknya sudah dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Sebagaimana diketahui bahwa PPh merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajaknya tidak dilimpahkan kepada subjek lainnya. Oleh karenanya, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting sebagaimana diatur dalam Pasal 2A UU PPh sebagai berikut :
1.     Untuk orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 9seratus delapan puluh tiga) hari, dimulai saat dilahirkan dan berakhir saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama – lamanya.
2.     Untuk badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia, dimulai saat badan tersebut didirikan atau berkedudukan di Indonesia dan berakhir saat dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia.
3.     Untuk orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidal lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia, dimulai saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dan berakhir saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegitana melalui BUT.
4.     Untuk orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau memperoleh penghasilan dengan melakukan kegiatan melalu BUT di Indonesia, dimulai saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.
5.     Untuk mwarisan yang belum terbagi, dimulai saat timbulnya warisan tersebut dan berakhir saat warisab tersebut selesai dibagi.
B.    Subjek Pajak Pertambahan Nilai
Subjek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenakan pajak berdasrkan UU PPN, tidak termasuk pengusaha kecil batasannya ditetapkan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP.
Karena UU PPN tidak menyebutkan secara jelas siap – siapa yang termasuk subjek PPN, maka untuk memudahkan memahami, dapat dilihat ketentuan – ketentuan sebelumnya berdasarkan Pasal 18 UU PPN mengenai ketentuan peralihan, yaitu berdasarkan PP No. 22 Tahun 1985, PP No. 28 Tahun 1988 serta PP No.75 Tahun 1991 yang dapat disebutkan beberapa contoh yang termasuk Pengusaha Kena Pajak sebagai subjek PPN, yaitu :
1.     Pabrikan
2.     Importir
3.     Indentor
4.     Agen utama atau peyalur utama
5.     Pengusaha pemegang hak atau menggunakan paen atau merek dagang BKP
6.     Pedagang besar
7.     Eksportir
8.     Pedagang eceran besar
9.     Pemborong atau kontraktor
10.  Pengusaha jasa bidang telekomunikasi
11.  Pengusaha jasa angkatan udara dalam negeri
12.  Pengusaha lain yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.
Menurut keputusan Menteri Keuangan No. 648/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994, batasan yang termasuk usaha kecil adalah :
1.     Yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp 24.000.000 atau JKP dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp 120.000.000.
2.     Apabila pengusaha melakukan penyerahan, baik BKP maupun JKP batas peredaran brutonya adalah :
a.     Rp 240.000.000 jika peredaran BKP lebih dari 50% dari jumlah seluruh peredaran bruto; atau
b.    Rp 120.000.000 jika peredaran JKP lebih dari 50% dari jumlah sebuah peredaran bruto.
C.    Subjek Pajak Bumi dan Bangunan
Subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah orang atau badan yang mempunyai kewajiban untuk melunasi PBB sesuai dengan ketentuan UU PBB. Subjek PBB baru akan melunasi utang PBB apabila subjek PBB tersebut secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan bangunan dan/atau memperoleh manfaat atas bumi dan bangunan. Hak-hak atas bumi dan bangunan dalam PBB mengacu pada ketentuan UU Agraria yaitu hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan hak pengelolaan.
Apabila suatu objek pajak belum jelas diketahui siapa WPnya, misalnya yang mempunyai hak atau pemiliknya tidak diketahui, akan tetapi atas bumi dan bangunan tersebut ada yang menguasai atau ada orang lain yang memperoleh manfaat atas bumi dan bangunan tersebut, maka Direktur Jenderal Pajak mempunyai wewenang untuk menetapkan siapa subjek pajak yang harus bertanggung jawab untuk melunasi utang pajak, dengan melakukan penelitian ke lapangan yang selanjutnya akan menetapkan WPnya untuk melunasi pajak atas objeknya yang tidak jelas pemiliknya (Pasal 4 ayat 3 UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994). Berikut ini beberapa contoh subjek WP yang harus melunasi pajak karena status kepemilikan objek yang tidak jelas.
1.     Subjek pajak bernama A memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan milik orang lain bernama AB bukan karena suatu hak berdasarkan UU atau bukan karena perjanjian, maka A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan tersebut yang ditetapkan sebagai WP.
2.     Suatu objek pajak ternyata masih dalam suatu sengketa kepemilikan di pengadilan, maka orang atau badan yang memanfaatkan atau menggunakan objek pajak tersebut yang akan ditetapkan sebagai WP.
3.     Subjek pajak dalam waktu lama berada di luar wilayah letak objek pajak, sedangkan untuk merawat objek pajak tersebut telah dikuasakan kepada orang lain, maka orang atau badan yang diberi kuasa akan ditunjuk sebagai WP.
Apabila subjek pajak yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pajak merasa bahwa penetapan tersebut tidak benar, subjek pajak dapat mengajukan keberatan dengan memberikan keterangan secara tertulis bahwa ia bukan WP terhadap objek pajak yang dimaksud. Perlu diketahui bahwa pembayaran PBB yang dilakukan oleh WP tidak ada kaitannya dengan status hak kepemilikan atas objek pajak. Oleh karena itu, agar tidak menimbulkan salah pengertian secara hukum, maka penunjukan seseorang atau badan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk melunasi PBB bukanlah merupakan bukti kepemilikan hak.
D.    Subjek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Pengaturan masalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diatur dalam UU No. 21 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa yang menjadi subjek pajak dalam BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Dengan kata lain subjek pajak BPHTB adalah mereka yang menerima pengalihan hak, baik badan maupun orang pribadi. Subjek pajak inilah yang dikenakan kewajiban membayar pajak, sehingga disebut menjadi WP. Hak atas tanah dan bangunan yang dimaksud adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan.
Subjek pajak yang telah memperoleh hak atas tanah dan bangunan, akan terutang pajak saat mereka memperolehnya. Saat yang menentukan terutangnya pajak tersebut diatur dalam Pasal 9 sebagai berikut :
1.     Untuk jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta
2.     Untuk tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangninya akta
3.     Untuk hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangninya akta
4.     Untuk pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangninya akta
5.     Untuk pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangninya akta
6.     Untuk lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang
7.     Untuk putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap
8.     Untuk hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor pertanahan
9.     Untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak
10.  Untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak
11.  Untuk hadiah adalah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangninya akta.
Apabila WP tidak melunasi utang pajak, maka dalam jangka waktu lima tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang bayar. Kekurangan akan ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar.
E.    Subjek Bea Materai
Pengaturan masalah Bea Materai diatur dalam UU No. 13 Tahun 1985. Dalam UU tersebut, dijelaskan bahwa Bea Materai merupakan pajak yang dikenakan terhadap suatu dokumen. Tidak semua dokumen dikenakan Bea Materai. Dokumen yang dikenakan Bea Materai hanyalah dokumen yang disebutkan dalam UU tersebut. Pihak yang menggunakan dokumen-dokumen yang disebutkan dalam UU adalah subjek dari Bea Materai tersebut. Artinya, merekalah yang wajib melunasi sejumlah Bea Materai yang telah ditentukan.
Apabila suatu dokumen belum dibubuhi Bea Materai, namun apabila akan digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, maka pihak yang akan menggunakan dokumen tersebut sebagai bukti, dibebani kewajiban untuk melunasi Bea Materainya terlebih dahulu. Pelunasan dilakukan melalui pejabat pos yang disebut pemateraian kemudian.
Objek Pajak
A.    Objek PPh
Objek PPh adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau dperoleh baik dari Indonesia maupun luar Indonesia yang digunakan baik untuk investasi maupun konsumsi. UU PPh mengatur pembagian objek pajak yanh diatur dalam pasal-pasal :
a.     PPh Pasal 21
Pasal 21 UU PPh mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari WP orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. Pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan adalah pembagian kerja, bendahara pemerintahan, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.
Objek PPh Pasal 21 adalah :
o    Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara langsung dengan nama apapun,
o    Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur yang sifatnya tidak tetap,
o    Upah harian, mingguan, satuan dan borongan
o    Uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua, uang pesangon, dan pembayaran lainnya yang sejenis,
o    Honorariuk, uang saku, hadiah atau penghargaan  dengan namq dan bentuk apapun yang dilakukan WP dalam negeri,
o    Gaji dan tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil serta uang pensiun dan tunjangn lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan janda atau duda dan/atau anak-anaknya.
Yang bukan termasuk objek PPh Pasal 21 adalah :
o    Pembayaran asuransi dari perusahaan
o    Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali yang diatur dalam pasal 5 ayat (2),
o    Iuran pensiun yanh dibayatkan kepada dama pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan serta iuran THT kepada badan penyelenggara jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja,
o    Penerimaam dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh pemerintah,
o    Kenikmatam berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja,
o    Pemberian THT-Taspen dari PT Taspen kepada para pensiunan yang berhak menerimanya.
b.    PPh Pasal 22
Pasal 22 UU PPh mengatur mengenai pemungutan pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan adanya kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha lainnya.
Objek PPh Pasal 22 adalah :
o    Penyerahan barang dan/atau jasa kepada institusi penerima
o    Kegiatan impor ke dalam daerah pabean
Yang bukan Objek PPh Pasal 22 adalah :
o    Impor baranh dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan.
o    Impor barang yang dibebaskan dari bea masuk
c.     PPh Pasal 23
Pasal 23 UU PPh mengatur mengenai pemotongan pajk atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WP dalam negeri dan BUT yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan uang dibayarkan atau terutang oleh badam pemerintahan atau subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggaraan kegiatan, BUT atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Objek PPh Pasal 23 adalah :
o    Dividen
o    Bunga
o    Royalti
o    Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
o    Imbalan sehubungan dengan jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21
Yanh bukan Objek PPh  Pasal 23 adalah :
o    Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank
o    Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaja dengan hak opsi
o    Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP dalam negeri, koperasi, yayasan atau organisiasi yang sejenis, BUMN atau BUMD, dari pernyataan modal pada badan usaha yanh didirikan dan berkedudukan di Indonesia
o    Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana
o    Bagian laba yang diterimabatau diperoleh perusahaan modal ventura dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha
o    Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya
o    Bunga simpanan yang tidak melebihi jumlah sebesar Rp 240.000 setiap bulan yang dibauarkan oleh koperasi kepada anggotamya
d.    PPh Pasal 26
Pasal 26 UU PPh mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh WP luar negeri dan BUT.
Objek PPh Pasal 26 sama dengan Objek Pajak Pasal 23 hanya saja dalam PPh Pasal 26 yang menerima penghasilan adalah WP luar negeri, sedangkan dalam PPh Pasal 23 yang menerima penghasilan adalah WP dalam negeri. Selain itu, sifat pemotongan PPh Pasal 26 adalah bersifat final sedangkan pemotongan dalam PPh Pasal 23 sifatnya tidak final.


B.    Objek PPN
Objek PPN adalah penyerahan atau kegiatas yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak. Ada enam kegiatan yanh ditegaskan UU PPN sebagai objek pajak yaitu :
a.     Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
b.    Mpor barang kena pajak
c.     Penyerahan barang kena pajak yang dilakukan di dalak Daerah Pabran oleh pengusaha
d.    Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
e.     Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
f.     Ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak
Penyerahan barang dan jasa dikenakan PPN apabila memenuhi syarat yaitu :
a.     Yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
b.    Dilakukan di dalam daerah pabean
c.     Tindakan penyerahannya merupakan penyerahan kena pajak
d.    Penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya sehari-hari
Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud (bergerak dan tidak bergerak) dan tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN. Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum uanh menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
C.    Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Objek PBB adalah benda tidak bergerak, yaitu berupa bumi dan bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wiayah Indonesia. Sementara itu bangunan adalah suatu konstruksi teknik yang ditanam atau dilihatkan secara tetap pada tanahdan/atau perairan. Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
1.     Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu komponen bangunan seperti hotel, pabrik dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut.
2.     Jalan Tol
3.     Kolam renang
4.     Pagar mewah
5.     Tempat olahraga
6.     Galanagan kapal, dermaga
7.     Taman mewah
8.     Tempat penampungan / kilang minyak, airdan gas, pipa minyak
9.     Fasilitas lain yang memberikan manfaat

UU menegaskan bahwa terhadap objek PBB seperti di bawah ini tidak dikenakan PBB, yaitu :
1.     Tanah atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk tidak memperoleh keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan /badan yang bergerak dalam bidang-bidang tersebut.
2.     Tanah atau bangunan yang digunakan untuk kuburan umum, peninggalan purbakala, atau sejenis dengan itu seperti dengan museum.
3.     Tanah atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatic atau konsultan berdasarkan asas perlakuan timbale balik. Artinya bila tanah/ gedung perwakilan RI di negara trtentu dikenakan PBB, hal yang sama kita perlakukan teerhadap tanah/ gedung negara tersebut yang ada di sini.
4.     Tanah yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani sesuatu hak.
5.     Tanah dan bangunan yang digunakan oleh perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

Sekalipun objek yang digunakan oleh perwakilan diplomatic, konsultan, dan yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan tidak terkena pajak, hal ini bukan berarti pembebasan atas subjeknya melainkan karena pembebasan objeknya semata. Hanya saja karena objek PBB yang digunakan oleh wakil-wakil tersebut yang dibebaskan dari pengenaan pajaknya, seolah-olah subjeknya juga ikut dibebankan.

D.    Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Objek dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah perolehan hak atas tanah dn bangunan yang dapat berupa tanah (termasuk tanaman di atasnya) tanah atau bangunan, atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut meliputi hal-hal seperti :
1.     Pemindahan hak
Pemindahan ha terjadi karena adanya :
a.     Jual beli
b.    Tukar menukar
c.     Hibah
d.    Hibah wasiat
e.     Waris
f.     Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
g.    Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
h.     Penunjukan pembeli dalam lelang
i.      Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyi kekuatan hukum tetap
j.      Penggabungan usaha
k.     Peleburan usaha
l.      Pemekaran usaha
m.   Hadiah
2.     Pemberian hak baru
Sementara itu, pemberian hak baru terjadi karena :
a.     Kelanjutan pelepasan hak
b.    Di luar pelepasan hak

E.    Objek Bea Materai
Objek Bea Materai adala dokumen. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang atau pihak-pihak yang berkepentingan. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengenaan Bea Materai bukaanlah pada perbuatan hukumnya melaikan pada ada tau tidaknya dokumen yang dibuat untuk membuktikan adanya perbuatan itu. Jika suatu peristiwa dibuatkan suatu dokumen, maka atas dokumen tersebut akan terkena Bea Materai. Sebaliknya, apabila peristiwa tidak dibuatkan dokumen, otommatis ttidak ada Bea Materainya. Beberapa dokumen yang wajib dikenakan Bea Materai yaitu :

1)     Dokumen yang telah disebutkan dalam UU
2)     Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan

Pada umumnya, surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan dibuat dengan tidak dimaksudkan untuk tujuan sebagai alat bukti, misalnya bila seseoraang mengirim surat biasa kepada orang lain untuk menjualkan sebuah barang, atau surat kerumahtanggaan seperti daftar harga barang. Surat-surat semacam ini pada mulanya tidak terutang Bea Materai, tetapi apabila di kemudian hari dipakai sebagai alat pembuktian di muka pengadilan, surat-surat tersebut harus terlebih dahulu dilunasi Bea Materainya, baru kemudian dapat dijadikan alat bukti di pengadilan. Pemeteraian kemudian dilakukan oleh pejabat pos giro (di kantor pos)
Demikian halnya dengan surat-surat yang karena tujuannya tidak dikenakan Bea Materai, tetapi apabila tujuannya kemudian diubah maka surat yang demikian dikenakan Bea Materai. MIsalnya surat keterangan doter, tidak dikenakan Bea Materai, tetapi apabila dikemudian hari tanda penerimaan uang tersebut digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan, maka harus dilakukan pemeteraian kemudian oleh pejabat pos dan giro.

            Sementara itu, dokumen yang tidak dikenakan Bea Materai yaitu :
1)     Dokumen yang berupa :
a.     Surat penyimpanan barang
b.    Konosemen (Bill of Lading atau B/L)
c.     Surat angkutan penumpang dan barang
d.    Keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen dimaksud dalam angka 1), 2), dan angka 3).
e.     Bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang
f.     Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim
g.    Surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam angka 1) sampai dengan angka 6) seperti surat /titipan barang, ceel gudang, manifest penumpang.
2)     Segala bentuk ijazah yaitu STTB, tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti suatu pendidikan, latihan kursus dan penataan.
3)     Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahlkan utuk mendapatkan pembayaran itu.
4)     Tanda bukti penerimaan uang nrgara dari kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
5)     Kuitansi untuk semua jenis pajak ddan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dai kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
6)     Tanda penerimaan uang yang dibuat unntuk keperluan internal organisasi
7)     Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut.
8)     Surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian
9)     Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.


Referensi : B. Ilyas, Wirawan. Richard Burton. 2011. Hukum Pajak, Edisi 5. Jakarta: Salemba Empat


Tidak ada komentar:

Posting Komentar