Subjek Pajak
A.
Subjek
Pajak Penghasilan
Dalam
UU PPh tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan subjek PPh, namun secara umum
pengertian Subjek Pajak adalah siapa yang dikenakan pajak. UU PPh menegaskan
ada tiga kelompok yang menjadi subjek PPh, yaitu:
1. Orang
pribadi dan warisan yang belum terbagi sevagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak.
2. Badan
yang terdiri dari Perseraoan Terbatas, perseroan Komanditer, Perseroan lainnya,
Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk
apapun, Persekutuan, Perkumpulan, Firma, Kongsi, Koperasi, Yayasan atau
organisasi yang sejenis, lembaga dana pension, dan bentuk badan usaha lainnya.
3. Bentuk
Usaha Tetap
Bentuk
Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau
badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia, untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Misalnya tempat
kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, pabrik, bengkel, dan
gedung kantor.
Sejak PPh dibedakan antara subjek pajak
dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek dalam negeri adalah :
1. Orang
pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas0 bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di
indoensia dan mempunyai niat ubtuk bertmpat tinggal di Indonesia.
2. Badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
3. Warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Sementara
itu, yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri adalah :
1. Orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di
Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di
Indonesia.
2. Orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia
yang dapa menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Subjek
pajak dalam negeri akan menjadi Wajib Pajak (WP) apabila telah menerima atau
memperoleh penghasilan, sedangkan subjek pajak luar negeri sekaligus menjadi WP
sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di
Indonesia atau diperoleh melalui BUT di Indonesia.
Pada
prinsipnya subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat
tinggal atau berada di Indonesia, keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus
delapan tiga hari tidaklah harus berturut – turut, tetapi ditentukan oleh
jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 9dua
belas0 bulan sejak kedatangannya di Indonesia. Dalam hal ini orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
maka orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri.
Perbedaan
penting antara sujek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri diketahui
terutama dalam hal pemenuhan kewajiban pajaknya, yaitu :
1. Subjek
pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia, sedangkan subjek pajak luar negeri dikenakan pajak
berdasarkan penghasilan yang bersumber dari Indonesia.
2. Subjek
pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tariff
umum, sedangkan subjek pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan
penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan (proporsional).
3. Subjek
pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)
sebagai sarana menghitung pajak yang terutang, sedangkan subjek pajak luar
negeri tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan karena kewajiban pajaknya sudah
dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Sebagaimana
diketahui bahwa PPh merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya
melekat pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajaknya tidak
dilimpahkan kepada subjek lainnya. Oleh karenanya, penentuan saat mulai dan
berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting sebagaimana diatur dalam
Pasal 2A UU PPh sebagai berikut :
1. Untuk
orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
lebih dari 183 9seratus delapan puluh tiga) hari, dimulai saat dilahirkan dan
berakhir saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama –
lamanya.
2. Untuk
badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia, dimulai saat badan
tersebut didirikan atau berkedudukan di Indonesia dan berakhir saat dibubarkan
atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia.
3. Untuk
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidal lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari atau badan yang tidak
didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha melalui
BUT di Indonesia, dimulai saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan dan berakhir saat tidak lagi menjalankan usaha
atau melakukan kegitana melalui BUT.
4. Untuk
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari atau badan
yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang dapat menerima
atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau
memperoleh penghasilan dengan melakukan kegiatan melalu BUT di Indonesia,
dimulai saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia dan berakhir saat tidak lagi menerima atau
memperoleh penghasilan tersebut.
5. Untuk
mwarisan yang belum terbagi, dimulai saat timbulnya warisan tersebut dan
berakhir saat warisab tersebut selesai dibagi.
B.
Subjek
Pajak Pertambahan Nilai
Subjek
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). PKP adalah
pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenakan pajak berdasrkan UU PPN, tidak termasuk
pengusaha kecil batasannya ditetapkan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil
tersebut memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP.
Karena
UU PPN tidak menyebutkan secara jelas siap – siapa yang termasuk subjek PPN,
maka untuk memudahkan memahami, dapat dilihat ketentuan – ketentuan sebelumnya
berdasarkan Pasal 18 UU PPN mengenai ketentuan peralihan, yaitu berdasarkan PP
No. 22 Tahun 1985, PP No. 28 Tahun 1988 serta PP No.75 Tahun 1991 yang dapat
disebutkan beberapa contoh yang termasuk Pengusaha Kena Pajak sebagai subjek
PPN, yaitu :
1. Pabrikan
2. Importir
3. Indentor
4. Agen
utama atau peyalur utama
5. Pengusaha
pemegang hak atau menggunakan paen atau merek dagang BKP
6. Pedagang
besar
7. Eksportir
8. Pedagang
eceran besar
9. Pemborong
atau kontraktor
10. Pengusaha
jasa bidang telekomunikasi
11. Pengusaha
jasa angkatan udara dalam negeri
12. Pengusaha
lain yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.
Menurut
keputusan Menteri Keuangan No. 648/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994,
batasan yang termasuk usaha kecil adalah :
1. Yang
selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dengan jumlah peredaran bruto
tidak lebih dari Rp 24.000.000 atau JKP dengan jumlah peredaran bruto tidak
lebih dari Rp 120.000.000.
2. Apabila
pengusaha melakukan penyerahan, baik BKP maupun JKP batas peredaran brutonya
adalah :
a. Rp
240.000.000 jika peredaran BKP lebih dari 50% dari jumlah seluruh peredaran
bruto; atau
b. Rp
120.000.000 jika peredaran JKP lebih dari 50% dari jumlah sebuah peredaran
bruto.
C.
Subjek
Pajak Bumi dan Bangunan
Subjek
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah orang atau badan yang mempunyai kewajiban
untuk melunasi PBB sesuai dengan ketentuan UU PBB. Subjek PBB baru akan
melunasi utang PBB apabila subjek PBB tersebut secara nyata mempunyai suatu hak
atas bumi dan bangunan dan/atau memperoleh manfaat atas bumi dan bangunan.
Hak-hak atas bumi dan bangunan dalam PBB mengacu pada ketentuan UU Agraria
yaitu hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan hak
pengelolaan.
Apabila
suatu objek pajak belum jelas diketahui siapa WPnya, misalnya yang mempunyai
hak atau pemiliknya tidak diketahui, akan tetapi atas bumi dan bangunan
tersebut ada yang menguasai atau ada orang lain yang memperoleh manfaat atas
bumi dan bangunan tersebut, maka Direktur Jenderal Pajak mempunyai wewenang
untuk menetapkan siapa subjek pajak yang harus bertanggung jawab untuk melunasi
utang pajak, dengan melakukan penelitian ke lapangan yang selanjutnya akan
menetapkan WPnya untuk melunasi pajak atas objeknya yang tidak jelas pemiliknya
(Pasal 4 ayat 3 UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12
Tahun 1994). Berikut ini beberapa contoh subjek WP yang harus melunasi pajak
karena status kepemilikan objek yang tidak jelas.
1. Subjek
pajak bernama A memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan milik orang
lain bernama AB bukan karena suatu hak berdasarkan UU atau bukan karena
perjanjian, maka A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan
tersebut yang ditetapkan sebagai WP.
2. Suatu
objek pajak ternyata masih dalam suatu sengketa kepemilikan di pengadilan, maka
orang atau badan yang memanfaatkan atau menggunakan objek pajak tersebut yang
akan ditetapkan sebagai WP.
3. Subjek
pajak dalam waktu lama berada di luar wilayah letak objek pajak, sedangkan
untuk merawat objek pajak tersebut telah dikuasakan kepada orang lain, maka
orang atau badan yang diberi kuasa akan ditunjuk sebagai WP.
Apabila
subjek pajak yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pajak merasa bahwa penetapan
tersebut tidak benar, subjek pajak dapat mengajukan keberatan dengan memberikan
keterangan secara tertulis bahwa ia bukan WP terhadap objek pajak yang
dimaksud. Perlu diketahui bahwa pembayaran PBB yang dilakukan oleh WP tidak ada
kaitannya dengan status hak kepemilikan atas objek pajak. Oleh karena itu, agar
tidak menimbulkan salah pengertian secara hukum, maka penunjukan seseorang atau
badan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk melunasi PBB bukanlah merupakan bukti
kepemilikan hak.
D.
Subjek
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Pengaturan
masalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diatur dalam UU No.
21 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000. Dalam UU tersebut
disebutkan bahwa yang menjadi subjek pajak dalam BPHTB adalah orang pribadi
atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Dengan kata lain subjek
pajak BPHTB adalah mereka yang menerima pengalihan hak, baik badan maupun orang
pribadi. Subjek pajak inilah yang dikenakan kewajiban membayar pajak, sehingga
disebut menjadi WP. Hak atas tanah dan bangunan yang dimaksud adalah hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah
susun, dan hak pengelolaan.
Subjek
pajak yang telah memperoleh hak atas tanah dan bangunan, akan terutang pajak
saat mereka memperolehnya. Saat yang menentukan terutangnya pajak tersebut
diatur dalam Pasal 9 sebagai berikut :
1. Untuk
jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta
2. Untuk
tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangninya akta
3. Untuk
hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangninya akta
4. Untuk
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat
dan ditandatangninya akta
5. Untuk
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatangninya akta
6. Untuk
lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang
7. Untuk
putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap
8. Untuk
hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan
haknya ke kantor pertanahan
9. Untuk
pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah
sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak
10. Untuk
pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya
surat keputusan pemberian hak
11. Untuk
hadiah adalah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangninya akta.
Apabila
WP tidak melunasi utang pajak, maka dalam jangka waktu lima tahun sesudah saat
terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar apabila berdasarkan
hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang
kurang bayar. Kekurangan akan ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan, dihitung mulai saat
terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar.
E. Subjek Bea Materai
Pengaturan
masalah Bea Materai diatur dalam UU No. 13 Tahun 1985. Dalam UU tersebut,
dijelaskan bahwa Bea Materai merupakan pajak yang dikenakan terhadap suatu
dokumen. Tidak semua dokumen dikenakan Bea Materai. Dokumen yang dikenakan Bea
Materai hanyalah dokumen yang disebutkan dalam UU tersebut. Pihak yang
menggunakan dokumen-dokumen yang disebutkan dalam UU adalah subjek dari Bea
Materai tersebut. Artinya, merekalah yang wajib melunasi sejumlah Bea Materai
yang telah ditentukan.
Apabila
suatu dokumen belum dibubuhi Bea Materai, namun apabila akan digunakan sebagai
alat bukti di pengadilan, maka pihak yang akan menggunakan dokumen tersebut
sebagai bukti, dibebani kewajiban untuk melunasi Bea Materainya terlebih
dahulu. Pelunasan dilakukan melalui pejabat pos yang disebut pemateraian
kemudian.
Objek Pajak
A.
Objek
PPh
Objek
PPh adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau dperoleh baik dari Indonesia maupun luar Indonesia yang digunakan baik
untuk investasi maupun konsumsi. UU PPh mengatur pembagian objek pajak yanh
diatur dalam pasal-pasal :
a. PPh
Pasal 21
Pasal 21 UU PPh mengatur
tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari WP orang pribadi dalam negeri
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. Pihak yang wajib melakukan
pemotongan, penyetoran, dan pelaporan adalah pembagian kerja, bendahara
pemerintahan, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.
Objek PPh Pasal 21 adalah :
o
Penghasilan yang diterima atau diperoleh
secara langsung dengan nama apapun,
o
Penghasilan yang diterima atau diperoleh
secara tidak teratur yang sifatnya tidak tetap,
o
Upah harian, mingguan, satuan dan borongan
o
Uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua,
uang pesangon, dan pembayaran lainnya yang sejenis,
o
Honorariuk, uang saku, hadiah atau
penghargaan dengan namq dan bentuk
apapun yang dilakukan WP dalam negeri,
o
Gaji dan tunjangan lain yang terkait dengan
gaji yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil serta uang pensiun
dan tunjangn lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan
janda atau duda dan/atau anak-anaknya.
Yang
bukan termasuk objek PPh Pasal 21 adalah :
o
Pembayaran asuransi dari perusahaan
o
Penerimaan dalam bentuk natura dan
kenikmatan, kecuali yang diatur dalam pasal 5 ayat (2),
o
Iuran pensiun yanh dibayatkan kepada dama
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan serta iuran THT
kepada badan penyelenggara jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja,
o
Penerimaam dalam bentuk natura dan kenikmatan
lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh pemerintah,
o
Kenikmatam berupa pajak yang ditanggung oleh
pemberi kerja,
o
Pemberian THT-Taspen dari PT Taspen kepada
para pensiunan yang berhak menerimanya.
b. PPh
Pasal 22
Pasal 22 UU PPh mengatur
mengenai pemungutan pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang
dan adanya kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha lainnya.
Objek PPh Pasal 22 adalah :
o
Penyerahan barang dan/atau jasa kepada
institusi penerima
o
Kegiatan impor ke dalam daerah pabean
Yang
bukan Objek PPh Pasal 22 adalah :
o
Impor baranh dan/atau penyerahan barang yang
berdasarkan ketentan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan.
o
Impor barang yang dibebaskan dari bea masuk
c. PPh
Pasal 23
Pasal 23 UU PPh mengatur
mengenai pemotongan pajk atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WP dalam
negeri dan BUT yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan
kegiatan uang dibayarkan atau terutang oleh badam pemerintahan atau subjek
pajak badan dalam negeri, penyelenggaraan kegiatan, BUT atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya.
Objek PPh Pasal 23 adalah :
o
Dividen
o
Bunga
o
Royalti
o
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta
o
Imbalan sehubungan dengan jasa yang telah
dipotong PPh Pasal 21
Yanh bukan Objek PPh Pasal 23 adalah :
o
Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada
bank
o
Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan
dengan sewa guna usaja dengan hak opsi
o
Dividen atau bagian laba yang diterima atau
diperoleh perseroan terbatas sebagai WP dalam negeri, koperasi, yayasan atau
organisiasi yang sejenis, BUMN atau BUMD, dari pernyataan modal pada badan
usaha yanh didirikan dan berkedudukan di Indonesia
o
Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh
perusahaan reksa dana
o
Bagian laba yang diterimabatau diperoleh
perusahaan modal ventura dari badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha
o
Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan
oleh koperasi kepada anggotanya
o
Bunga simpanan yang tidak melebihi jumlah
sebesar Rp 240.000 setiap bulan yang dibauarkan oleh koperasi kepada anggotamya
d. PPh
Pasal 26
Pasal 26 UU PPh mengatur
tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima
atau diperoleh WP luar negeri dan BUT.
Objek PPh Pasal 26 sama
dengan Objek Pajak Pasal 23 hanya saja dalam PPh Pasal 26 yang menerima
penghasilan adalah WP luar negeri, sedangkan dalam PPh Pasal 23 yang menerima
penghasilan adalah WP dalam negeri. Selain itu, sifat pemotongan PPh Pasal 26
adalah bersifat final sedangkan pemotongan dalam PPh Pasal 23 sifatnya tidak
final.
B.
Objek
PPN
Objek
PPN adalah penyerahan atau kegiatas yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak.
Ada enam kegiatan yanh ditegaskan UU PPN sebagai objek pajak yaitu :
a. Penyerahan
Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
b. Mpor
barang kena pajak
c. Penyerahan
barang kena pajak yang dilakukan di dalak Daerah Pabran oleh pengusaha
d. Pemanfaatan
barang kena pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
e. Pemanfaatan
jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
f. Ekspor
barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak
Penyerahan
barang dan jasa dikenakan PPN apabila memenuhi syarat yaitu :
a. Yang
diserahkan adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
b. Dilakukan
di dalam daerah pabean
c. Tindakan
penyerahannya merupakan penyerahan kena pajak
d. Penyerahan
dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya sehari-hari
Barang
Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud (bergerak dan tidak bergerak) dan tidak
berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN. Jasa Kena Pajak (JKP) adalah
setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum uanh
menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk
dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan
atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
C.
Objek
Pajak Bumi dan Bangunan
Objek
PBB adalah benda tidak bergerak, yaitu berupa bumi dan bangunan. Bumi adalah
permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi
tanah dan perairan pedalaman serta laut wiayah Indonesia. Sementara itu
bangunan adalah suatu konstruksi teknik yang ditanam atau dilihatkan secara
tetap pada tanahdan/atau perairan. Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
1. Jalan
lingkungan yang terletak dalam suatu komponen bangunan seperti hotel, pabrik
dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks
bangunan tersebut.
2. Jalan
Tol
3. Kolam
renang
4. Pagar
mewah
5. Tempat
olahraga
6. Galanagan
kapal, dermaga
7. Taman
mewah
8. Tempat
penampungan / kilang minyak, airdan gas, pipa minyak
9. Fasilitas
lain yang memberikan manfaat
UU menegaskan bahwa terhadap objek PBB
seperti di bawah ini tidak dikenakan PBB, yaitu :
1. Tanah
atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di
bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang
tidak dimaksudkan untuk tidak memperoleh keuntungan. Hal ini dapat diketahui
antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan /badan
yang bergerak dalam bidang-bidang tersebut.
2. Tanah
atau bangunan yang digunakan untuk kuburan umum, peninggalan purbakala, atau
sejenis dengan itu seperti dengan museum.
3. Tanah
atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatic atau konsultan berdasarkan
asas perlakuan timbale balik. Artinya bila tanah/ gedung perwakilan RI di
negara trtentu dikenakan PBB, hal yang sama kita perlakukan teerhadap tanah/
gedung negara tersebut yang ada di sini.
4. Tanah
yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani
sesuatu hak.
5. Tanah
dan bangunan yang digunakan oleh perwakilan organisasi internasional yang
ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Sekalipun objek yang digunakan oleh
perwakilan diplomatic, konsultan, dan yang digunakan oleh badan atau perwakilan
organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan tidak terkena
pajak, hal ini bukan berarti pembebasan atas subjeknya melainkan karena
pembebasan objeknya semata. Hanya saja karena objek PBB yang digunakan oleh
wakil-wakil tersebut yang dibebaskan dari pengenaan pajaknya, seolah-olah
subjeknya juga ikut dibebankan.
D.
Objek
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Objek dari Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) adalah perolehan hak atas tanah dn bangunan yang dapat
berupa tanah (termasuk tanaman di atasnya) tanah atau bangunan, atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut meliputi hal-hal seperti :
1. Pemindahan
hak
Pemindahan
ha terjadi karena adanya :
a. Jual
beli
b. Tukar
menukar
c. Hibah
d. Hibah
wasiat
e. Waris
f. Pemasukan
dalam perseroan atau badan hukum lainnya
g. Pemisahan
hak yang mengakibatkan peralihan
h. Penunjukan
pembeli dalam lelang
i. Pelaksanaan
putusan hakim yang mempunyi kekuatan hukum tetap
j. Penggabungan
usaha
k. Peleburan
usaha
l. Pemekaran
usaha
m. Hadiah
2. Pemberian
hak baru
Sementara
itu, pemberian hak baru terjadi karena :
a. Kelanjutan
pelepasan hak
b. Di
luar pelepasan hak
E.
Objek
Bea Materai
Objek Bea Materai adala dokumen. Dokumen
adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang
perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang atau pihak-pihak yang
berkepentingan. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengenaan Bea
Materai bukaanlah pada perbuatan hukumnya melaikan pada ada tau tidaknya
dokumen yang dibuat untuk membuktikan adanya perbuatan itu. Jika suatu
peristiwa dibuatkan suatu dokumen, maka atas dokumen tersebut akan terkena Bea
Materai. Sebaliknya, apabila peristiwa tidak dibuatkan dokumen, otommatis ttidak
ada Bea Materainya. Beberapa dokumen yang wajib dikenakan Bea Materai yaitu :
1) Dokumen
yang telah disebutkan dalam UU
2) Dokumen
yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan
Pada umumnya, surat-surat biasa dan
surat-surat kerumahtanggaan dibuat dengan tidak dimaksudkan untuk tujuan
sebagai alat bukti, misalnya bila seseoraang mengirim surat biasa kepada orang
lain untuk menjualkan sebuah barang, atau surat kerumahtanggaan seperti daftar
harga barang. Surat-surat semacam ini pada mulanya tidak terutang Bea Materai,
tetapi apabila di kemudian hari dipakai sebagai alat pembuktian di muka
pengadilan, surat-surat tersebut harus terlebih dahulu dilunasi Bea Materainya,
baru kemudian dapat dijadikan alat bukti di pengadilan. Pemeteraian kemudian
dilakukan oleh pejabat pos giro (di kantor pos)
Demikian halnya dengan surat-surat yang
karena tujuannya tidak dikenakan Bea Materai, tetapi apabila tujuannya kemudian
diubah maka surat yang demikian dikenakan Bea Materai. MIsalnya surat
keterangan doter, tidak dikenakan Bea Materai, tetapi apabila dikemudian hari
tanda penerimaan uang tersebut digunakan sebagai alat pembuktian di muka
pengadilan, maka harus dilakukan pemeteraian kemudian oleh pejabat pos dan
giro.
Sementara
itu, dokumen yang tidak dikenakan Bea Materai yaitu :
1) Dokumen
yang berupa :
a. Surat
penyimpanan barang
b. Konosemen
(Bill of Lading atau B/L)
c. Surat
angkutan penumpang dan barang
d. Keterangan
pemindahan yang dituliskan di atas dokumen dimaksud dalam angka 1), 2), dan
angka 3).
e. Bukti
untuk pengiriman dan penerimaan barang
f. Surat
pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim
g. Surat-surat
lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam
angka 1) sampai dengan angka 6) seperti surat /titipan barang, ceel gudang, manifest penumpang.
2) Segala
bentuk ijazah yaitu STTB, tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti suatu
pendidikan, latihan kursus dan penataan.
3) Tanda
terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya yang
ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahlkan utuk
mendapatkan pembayaran itu.
4) Tanda
bukti penerimaan uang nrgara dari kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
5) Kuitansi
untuk semua jenis pajak ddan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan
itu dai kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
6) Tanda
penerimaan uang yang dibuat unntuk keperluan internal organisasi
7) Dokumen
yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank,
koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut.
8) Surat
gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian
9) Tanda
pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Referensi
: B. Ilyas, Wirawan. Richard Burton. 2011. Hukum
Pajak, Edisi 5. Jakarta: Salemba
Empat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar