Rabu, 08 Juli 2015

Ruang Lingkup Pajak

7.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Pemeriksaan
            Pengertian Pemeriksaan Pajak
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (24) UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU No.16 Tahun 2000 (UU KUP), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan/atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pelaksanaan pemeriksaan pajak dilakukan oleh pemeriksa pajak yang telah ditunjuk dan dibuktikan dengan suatu tanda pengenal pemeriksa pajak. Mereka yang melakukan pemeriksaan pajak telah dibekali dengan pendidikan berkaitan dengan tata cara pemeriksaan dan pendidikan terkait materi UU Pajak yang berkaitan dengan objek yang akan diperiksa. Sementara itu, terhadap WP yang akan diperiksa sebaiknya juga mengetahui adanya hak dan kewajiban dalam proses pemeriksaan untuk menghindarkan adanya kemungkinan terjadi kesalahpahaman antara pemeriksa pajak dengan WP.
Konsep pemeriksaan terhadap WP berkaitan dengan UU Perpajakan tentunya berbeda dengan konsep pemeriksaan auditing atau akuntasi umumnya. Konsep pemeriksaan auditing atau akuntasi dalam dunia usaha lazimnya dikenal dalam rangka pemeriksaan keuangan. Sementara itu, konsep pemeriksaan pajak menurut UU Pajak merupakan salah satu hak yang dimiliki fiskus dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban pembayaran pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan pajak. Jadi, konsep pemeriksaan pajak tidak selalu berkaitan dengan persoalan kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh WP. Persoalan kebenaran administrasi perpajakan juga merupakan salah satu cara untuk bisa dilakukan pemeriksaan pajak.
Pemeriksaan pajak merupakan salah satu pilar fungsi penegakan hukum (law enforcement) yang dilakukan pemerintah dalam kerangka system self assessment. Sementara itu, pilar lainnya adalah penyidikan pajak (tax investigation)  dan penagihan pajak (tax collection).
            Landasan Hukum Pemeriksaan Pajak
Landasan Hukum Pemeriksaan Pajak adalah Pasal 29 , Pasal 29 A dan pasal 31 UU No. 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 16 tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum  dan Tata Cara Perpajakan .
Pasal 29 ayat (1) UU KUP “Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”
Pasal 31 ayat (1) UU KUP “Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”. Dan tata cara Pemeriksaan terbaru adalah  Peraturan Menteri Keuangan   No.199/PMK.03/2007 tentang Pemeriksaan  Pajak, yang telah diperbaharui di tahun 2011.
            Ruang Lingkup Pemeriksaan Pajak
Sesuai Pasal 30 ayat 1 PerMenKeu No. 199/PMK.03/2007, ruang lingkup Pemeriksaan Pajak untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat meliputi satu, beberapa atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa masa Pajak, bagian tahun Pajak atau tahun Pajak dalam tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.
Sesuai Pasal 30 ayat 1 PerMenKeu No. 199/PMK.03/2007, ruang lingkup Pemeriksaan Pajak untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat meliputi penentuan, pencocokan  atau pengumpulan materi  yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.
7.2 Pedoman Pemeriksaan, Norma Pemeriksaan dan Pelaksanaan Pemeriksaan
  1. Pedoman Pemeriksaan Pajak
            Dalam melaksanakan pemeriksaan, pemeriksaan apajak harus mengetahui pedoman pemeriksaan pajak yang meliputi tiga hal, yaitu :
1.     Pedoman Umum Pemeriksaan Pajak
Yang diatur dalam pedoman umum ini berkaitan dengan masalah sumber daya manusia (kemampuan) pemeriksa pajak yang selengkapnya ditentukan sebagai berikut :
a)     Telah mendapatkan pendidikan teknis yang cukup dan memiliki keterampilan sebagai pemeriksa pajak.
b)    Bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh pengabdian, bersifat terbuka, sopan, dan objektif, serta menghindarkan diri dari perbuatan tercela.
c)     Menggunakan keahliannya secara cermat dan seksama serta memeberikan gambaran yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya tentang WP.
d)    Menuangkan hasil pemeriksaan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) sebagai bahan untuk menyusun Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP)
2.     Pedoman Pelaksanaan Pemeriksa
Yang diatur dalam pedoman pelaksanaan ini adalah sebagai berikut :
a)     Pelaksanaan pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan pemeriksaan, dan mendapat pengawasan yang saksama.
b)    Luas pemeriksaan ditentukan berdasarkan petunjuk yang diperoleh harus dikembangkan melalui pencocokan data, pengamatan, Tanya jawab, dan tindakan lain berkenan dengan pemeriksaan.
c)     Pendapat dan kesimpulan pemeriksaan pajak harus didasarkan pada temuan yang kuat dan berlandaskan peraturan perundang – undangan perpajakan.
3.     Pedoman Laporan Pemeriksaan Pajak
Yang diatur dalam pedoman laporan ini adalah sebagai berikut :
a)     Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP) disusun secara ringkas dan jelas, memuat lingkup sesuai dengan tujuan pemeriksaan, memuat kesimpulan pemeriksa pajak yang didukung temuan yang kuat tentang ada atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan perundang – undangan perpajakan, yang memuat pola pengungkapan informasi lain yang terkait.
b)    LPP yang berkaitan dengan pengungkapan penyimpangan Surat Pemberitahuan harus memperhatikan Kertas Kerja Pemeriksa (KKP), antara lain mengenai berbagai factor perbandingan, nilai absolute dari penyimpangan, pengaruh penyimpangan, dana hubungan adanya permasalahan lainnya.
c)     LPP ahrus didukung oleh daftar yang lengkap dan rinci sesuai dengan tujuan pemeriksaan.
  1. Norma Pemeriksaan
            Agar dalam pelaksanaan pemeriksaan pajak dapat berjalan dengan baik., Meneteri Keuangan telah menetapkan adanya norma pemeriksaan baik yang berkaitan dengan pemeriksaan pajak (Pemeriksaan Lapangan dan Pemeriksaan Kantor), pelaksanaan pemeriksaan maupun yang berkaitan dengan WP. Norma pemeriksaan ini dibuat tidak lain dimaksudkan agar pemeriksa pajak dan WP yang akan diperiksa masing – masing mengetahui hak dan kewajibannya dalam pemeriksaan serta adanya kepastian hukum dalam rangka pelaksanaan UU Perpajakn. Norama pemeriksaan dimaksud adalah seperti diuraikan di bawah ini :
1.     Norma Pemeriksaan Pemeriksa Pajak dalam Rangka Pemeriksaan Lapangan
a)     Pemeriksa pajak harus memiliki Tanda Pengenal Pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah pada waktu melakukan pemeriksaan.
b)    Pemeriksa pajak wajib memberitahukan secara tertulis tentang akan dilakukannya pemeriksaan kepad WP.
c)     Pemeriksa pajak wajib memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksa kepada WP.
d)    Pemeriksa pajak wajib menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksa kepada WP yang akan diperiksa.
e)     Pemeriksa pajak wajib membuat Laporan Pemerikssan Pajak.
f)     Pemeriksa pajak wajib memberitahukan secara tertulis kepada WP tentang hasil pemeriksaan berupa hal – hal yang berbeda antara Surat Pemberitahuan dengan hasil pemeriksaan untuk ditangapi WP.
g)    Pemeriksa pajak wajib memberi petunjuk kepada WP mengenai penyelengaraan pembukuan dan pencatatan dan petunjuk lainnya mengenai pemenuhan kewajiban perpajak  sehubungan dengan tujuan agar penyelengaraan pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam tahun – tahun selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
h)     Pemeriksa pajak wajib mengembalikan buku – buku, catatan – catatan dan dokumen pendukung lainnya yang dipinjam dari WP paling lama 14 (empat belas) hari sejak selesainya pemeriksaan.
i)      Pemeriksa pajak dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahuakan kepadanya oleh WP dalam rangka pemeriksaan.
2.     Norma Pemeriksaan Pemeriksa Pajak dalam rangka Pemeriksaan Kantor
a)     Pemeriksa paka, dengan menggunakan surat panggilan yang ditandatangani oleh kepala kantor yang bersangkutan, memanggil WP untuk dating ke kantor Direktorat Jendral Pajak yang ditunjuk dalam rangka pemeriksaan.
b)    Pemeriksa pajak wajib menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan kepada WP yang diperiksa.
c)     Pemeriksa pajak wajib membuat Laporan Pemeriksaan Pajak.
d)    Pemeriksa pajak waib memberitahukan secara tertulis kepada WP tentang hasil pemeriksaan berupa hal – hal yang berbeda antara surat pemberitahuan dengan hasil pemeriksaan.
e)     Pemeriksa pajak wajib member petunjuk kepada WP mengenai penyelenggara pembukuan atau pencatatan dan petunjuk lainnya mengenai pemenuhan kewajiban perpajakan sehubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan agar penyelenggara pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam tahun – tahun selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
f)     Pemeriksa pajak wajib mengembalikan buku – buku, catatan – catatan, dan dokumen pendukung lainnya yang dipinjam dari WP paling lama 7 (tujuh) hari sejak selesainya pemeriksaan.
g)    Pemeriksa pajak dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh WP dalam rangka pemeriksaan.
3.     Norma Pemeriksaan Berkaitan denga Pelaksanaan Pemeriksaan
a)     Pemeriksaan dapat dapat dilakukan oleh seorang atau lebih pemeriksa pajak.
b)    Pemeriksaan dilaksanakan di kantor Dirjen Pajak, di kantor WP atau di kantor lainnya atau di pabrik atau tempat usaha atau di tempat pekerjaan bebas atau di tempat tinggal WP atau di tempat lainnya yang ditentukan oleh Direjen Pajak.
c)     Pemeriksaaan dilaksanakan pada jam kerja dan apabila dipandang perlu dapat dilanjutkan diluar jam kerja.
d)    Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan.
e)     Laporan Pemeriksaan Pajak disusun berdasarkan Laporan Pemeriksaan Pajak.
f)     Hasil Pemeriksaan Lapangan yang seluruhnya disetujui WP atau kuasanya, dibuatkan surat pernyataan tentang persetujuan tersebut dan ditandatangani oleh Wp yang bersangkutan atau kuasanya.
g)    Terhadap temuan sebagai hasil pemeriksaan lengkap yang tidak atau tidak seluruhnya disetuji oleh WP, dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan dibuatkan Berita Acara Hasil Pemeriksan.
h)     Berdasrakan Laporan Pemeriksaan Pajak, diterbitkan surat ketetapan pajak dan surat tagihan pajak, kecuali pemeriksaan dilanjutkan dengan tindak penyidikan.
4.     Norma Pemeriksaan Berkaitan dengan WP
a)     Dalam hal pemeriksaan lapangan, WP berhak meminta kepada pemeriksa pajak untuk memperlihatkan surat perintah pemeriksaan dan tanda pngenal pemeriksa.
b)    WP berhak meminta kepada pemeriksa pajak untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan.
c)     Dalam hal pemeriksaan kantor, WP wajib memenuhi panggilan untuk dating menghadiri pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan.
d)    WP wajib memenuhi permintaan peminjaman buku – buku, catatan – catatan, dan dokumen – dokumen yang diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan dan memberikan keterangan dalam jangka waktu paling lama tujuh hari sejak tanggal surat permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh WP, maka pajak yang tertuang dapat dihitung secara jabatan.
e)     WP berhak meminta kepada pemeriksa pajak rincian yang berkenan dengan hal – hal yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan surat pemberitahuan.
f)     WP atau kuasanya wajib menandatangani surat pernyataan persetujuan apabila seluruh hasil pemeriksaan disetujui.
g)    Dalam hak pemeriksaan lengkap, WP atau kuasanya wajib menandatangani Berita Acara Hasil Pemeriksaanapabila hasil pemeriksaan tersebut tidak atau tidak seleruhnya disetujui.
h)     Dalam rangka pelaksanaan pemeriksaaan, WP wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU No. 6 Tahun 1983 tentang KUP sebagaimana telah diubah denagn UU No. 16 Tahun 2000.
  1. Pelaksanaan Pemeriksaan
            Dalam pelaksanaan pemeriksaan, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 545/ KMK.04/2000 juga telah menetapkan adanya wewenang Pemeriksa pajak baik Pemeriksaan Lapangan maupun Pemeriksaan Kantor, yaitu sebagai berikut :
a.     Wewenang Pemeriksa Pajak dalam melakukan Pemeriksaan Lapangan
·         Memeriksa dan/atau meminjam buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen pendukung lainnya termasuk keluaran atau media komputerdan perangkat elektronik pengolah data lainnya.
·         Meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak yang diperiksa.
·         Memasuki tempat atau ruangan yang diduga merupakan tempat menyimpan dokumen, uang, barang, yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan usaha wajib pajak dan/atau tempat-tempat lain yang dianggap penting serta melakukan pemeriksaan di tempat-tempat tersebut.
·         Melakukan penyegelan tempat atau ruangan apabila wajib pajak atau wakil atau kuasanya tidak memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan dimaksud atau tidak ada di tempat pada saat pemeriksaan dilakukan.
·         Meminta keterangan dan/atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai  hubungan dengan wajib pajak yang diperiksa.
b.    Wewenang Pemeriksa Pajak dalam melakukan Pemeriksaan Kantor
·         Memeriksa dan/atau meminjam buku-buku dan catatan-catatan wajib pajak
·         Meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari wajib pajak yang diperiksa
·         Meminta keterangan dan/atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan wajib pajak yang diperiksa
            Sering kali dalam pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan, wajib pajak atau kuasanya tidak berada di tempat, namun demikian pemeriksaan tetap dapat dilaksanakan sepanjang ada pihak yang dapat dan mempunyai kewenangan untuk bertindak selaku yang mewakili wajib pajak, terbatas untuk hal yang ada dalam kewenangannya, dan selanjutnya pemeriksaan ditunda untuk dilanjutkan pada kesempatan berikutnya. Dalam kondisi demikian pemeriksa pajak dapat melakukan penyegelan sesuai kewenangan yang dimiliknya. Ketika pemeriksaan akan dilanjutkan ternyata wajib pajak atau kuasanya tidak juga ada di tempat, maka pemeriksaan tetap dilaksanakan dengan terlebih dahulu meminta pegawai wajib pajak yang bersangkutan untuk mewakili wajib pajak guna membantu kelancaran pemeriksaan. Apabila pegawai wajib pajak menolak untuk membantu kelancaran pemeriksaan, pegawai tersebut harus menandatangani Surat Pernyataan Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan, yang selanjutnya pemeriksa membuat Berita Acara Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan yang ditandatangani oleh pemeriksa.

7.3 Pengertian Tindak Pidana Pajak
Pengertian tindak pidana disebut juga dengan istilah “delik”. Kata delik berasal dari  bahasa latin yaitu “delictum” dan dalam bahasa Belanda disebut “delict”. Sedangkan dalam bahasa Indonesia delik diartikan sebagai perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena pelanggaran terhadap undang-undang. Pengertian kata “tindak” menurut Prof. Mulyatno lebih sempit daripada perbuatan karena tidak menunjukkan pada hal yang abstrak seperti perbuatan tetapi hanya menyatakan keadaan yang konkret. Menurut pakar hukum Prof. Simon delik diartikan sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dengan sengaja ataupun tidak sengaja dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum.
Dalam konsteks hukum pajak, pengertian tindak pidana pajak mempunyai arti suatu peristiwa atau tindakan melanggar hukum atau undang-undang pajak yang dilakukan oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang pajak telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan pidana yang dapat dihukum.
Pemberian sanksi pidana, diatur dalam undang-undang pajak sebenarnya merupakan senjata apabila sanksi adminitrasi dirasa belum cukup untuk mencapai tujuan penegakan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Penegakan hukum atas peristiwa tindak pidana pajak mempunyai implikasi yang pada akhirnya bermuara pada penerimaan negara yang menjadi tugas pemerintah guna kepentingan bersama.
Dalam undang-undang perpajakan diatur adanya dua macam sanksi yang dapat diterapkan kepada wajib pajak apabila wajib pajak melanggar UU pajak, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Beberapa undang-undang yang mencantumkan sanksi pidana adalah :
-          UU No 13 tahun 2000 (UU KUP – diatur dalam Pasal 38 s.d. 43)
-          UU No. 12 Tahun 1994 (diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 25)
-          UU No. 13 tahun 1985 (diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14)
-          UU No. 18 tahun 1997 (diatur dalam Pasal 37 s.d. Pasal 40)
Sumber hukum lain yang digunakan sebagai acuan dalam penegakan hukum pajak adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam UU KUP No. 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga UU No. 6 tahun 1983 tentang KUP, ketentuan pidana diatur dalam Pasal 38 sampai dengan pasal 43A, yaitu ketentuan pidana baik yang ditujukan bagi wajib pajak maupun yang ditujukan bagi pegawai pajak (fiskus). Sedangkan ketentuan pidana bagi pejabat pajak diatur dalam pasal 41.
Dari semua pasal tindak pidana tersebut, pada prinsipnya dapat dikualifikasikan dalam dua jenis tindak pidana, yaitu tindak pidana pelanggaran dan tindak pidana kejahatan. Dalam pasal 38 UU KUP, hukuman untuk tindak pidana pelanggaran perpajakan adalah pidana kurungan paling lama satu tahun dan atau denda paling tinggi dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar. Wajib pajak melakukan tindak pidana pelanggaran apabila perbuatannya dilakukan bukan dengan sengaja atau terjadi karena kelalaian, sehingga perbuatan tersebut menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Dalam UU KUP tindak pidana perpajakan yang terjadi karena kealpaan wajib pajak tidak hanya diatur dalam Pasal 38 tetapi juga diatur dalam Pasal 13A UU KUP No. 28 Tahun 2007. Selanjutnya Pasal 38 UU No. 28 tahun 2007 menyatakan bahwa “setiap orang yang karena kealpaannya :
-          Tidak menyampaikan surat pemberitahuan, atau
-          Menyampaikan SP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A.
Dalam hukum pidana kelalaian atau kealphaan bisa dibedakan atas kealpaan dengan kesadaran dan kealphaan tanpa kesadaran. Kealpaan dengan kesadaran diketahui apabila si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat. Sedangkan kealphaan tanpa kesadaran diketahui apabila si pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang.
Tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana kejahatan, ancaman pidananya lebih berat dari tindak pidana pelanggaran, yaitu pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun dan denda paling sedikit dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak empat kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Bahkan apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana perpajakan sebelum lewat satu tahun sejak selesainya menjalani sebagain atau seluruh pidana pendajara yang dijatuhkan, ancaman pidananya ditambahkan satu kali menjadi dua kali sanksi pidana tersebut diatas.
Dalam hukum pidana dikenal dua teori dari pengertian kesengajaan (dolus atau opzet) yaitu teori kehendak dan teori membayangkan. Menurut teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat dari tindakan itu. Sedangkan teori membayangkan menjeleskan bahwa manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat manusia hanya dapat mengingini, mengharapkan atau membayangkan kemungkinan adanya suatu akibat. Dikatakan “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud dari tindakan tersebut. tindakan si pelaku dilakukan sesuai dengan bayangan yang telah dibuatnya terlebih dahulu.
Dari ketentuan pasal 38,39, dan 39A diatas paling tidak dapat dikelompokan dalam enam kelompok tindak pidana perpajakan yaitu :
-          Tindak pidana berkaitan dengan pendaftaran diri untuk memperoleh Nomor Pajak Wajib Pajak (NPWP) dan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
-          Tindak pidana berkaitan dengan pengisian dan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT).
-          Tindak pidana berkaitan dengan penolakan pemeriksaan.
-          Tindak pidana berkaitan dengan kewajiban penyelenggaran pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain yang palsu atau dipalsukan.
-          Tindak pidana berkaitan dengan penyetoran pajak yang telah dipotong atau dipungut
-          Tindak pidana berkaitan dengan penerbitan dan penggunaan faktur pajak bukti pemungutan pajak dan bukti setoran pajak yang tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya.
Tindak pidana perpajakan selain bisa dilakukan oleh pelakunya langsung (dader) juga bisa dilakukan oleh pihak lain yang tidak secara langsung melakukan tindak pidana. Mereka yang terlibat bisa digolongkan dalam empat golongan, yaitu :
-          Golongan pertama, mereka yang menyuruh melakukan (deonpleger)
-          Golongan kedua, yang turut serta melakukan (mededader)
-          Golongan ketiga, mereka yang menganjurkan (uitlokker)
-          Golongan keempat, mereka yang membantu melakukan (medeplichtigheid) tindak pidana dibidang perpajakan.
Terhadap mereka-mereka ditegaskan dalam pasal 43 UU KUP bisa dikenakan sanksi pidana sesuai pasal 39 dan Pasal 39A UU KUP.
7.4 Penuntutan Tindak Pidana Pajak

            Penuntutan tindak pidana pajak merupakan rangkaian hukum berikutnya setelah proses hukum penyidikan berjalan tuntas. Proses penuntutuan dalam tindak pidana pajak adalah sama dengan tindak pidana umum lainnya. Setelah penyidikan pajak selesai dilakukan, maka penyidik pajak akan menampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum. Sesuai hukum acara pidana, penuntut umumlah yang menentukan kebijakan suatu penentuan, termasuk penuntutuan tindak pidana di bidang pperpajakan.
            Dengan kata lain, penuntut umum yang menentukan apakah hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik pajak (Penyidik Pegawai Negeri Sipil/PPNS Ditjen Pajak) sudah lengkap atau belum. Apabila penuntut umum belum menyatakan lengkap, maka penyidik pajak harus melengkapi berkas penyidikannya.
            Sesuai Pasal 1 butir 6 KUHAR, Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang unrtuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, yang bertindak melakukan penuntutan tindak pidana perpajakan adalah Jkasa yang diberi wewenang oleh undang-undang. Pengertian penuntutan itu sendiri adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan.




Referensi
            B. Ilyas, Wirawan. Richard Burton. 2011. Hukum Pajak, Edisi 5. Jakarta: Salemba Empat
            Dailyfirmansyah.blogspot.com. Pemeriksaan Pajak. (Di akses pada : Jumat, 20 Maret 2015. Pukul 20.00 wita)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar