7.1
Pengertian dan Ruang Lingkup Pemeriksaan
Pengertian Pemeriksaan Pajak
Menurut
ketentuan Pasal 1 ayat (24) UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU No.16 Tahun 2000 (UU KUP),
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data
dan/atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Pelaksanaan
pemeriksaan pajak dilakukan oleh pemeriksa pajak yang telah ditunjuk dan
dibuktikan dengan suatu tanda pengenal pemeriksa pajak. Mereka yang melakukan
pemeriksaan pajak telah dibekali dengan pendidikan berkaitan dengan tata cara
pemeriksaan dan pendidikan terkait materi UU Pajak yang berkaitan dengan objek
yang akan diperiksa. Sementara itu, terhadap WP yang akan diperiksa sebaiknya
juga mengetahui adanya hak dan kewajiban dalam proses pemeriksaan untuk
menghindarkan adanya kemungkinan terjadi kesalahpahaman antara pemeriksa pajak
dengan WP.
Konsep
pemeriksaan terhadap WP berkaitan dengan UU Perpajakan tentunya berbeda dengan
konsep pemeriksaan auditing atau akuntasi umumnya. Konsep pemeriksaan auditing
atau akuntasi dalam dunia usaha lazimnya dikenal dalam rangka pemeriksaan
keuangan. Sementara itu, konsep pemeriksaan pajak menurut UU Pajak merupakan
salah satu hak yang dimiliki fiskus dengan tujuan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban pembayaran pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan perundang-undangan pajak. Jadi, konsep pemeriksaan pajak
tidak selalu berkaitan dengan persoalan kebenaran pembayaran pajak yang telah
dilakukan oleh WP. Persoalan kebenaran administrasi perpajakan juga merupakan
salah satu cara untuk bisa dilakukan pemeriksaan pajak.
Pemeriksaan
pajak merupakan salah satu pilar fungsi penegakan hukum (law enforcement) yang dilakukan pemerintah dalam kerangka system self assessment. Sementara itu, pilar
lainnya adalah penyidikan pajak (tax
investigation) dan penagihan pajak (tax collection).
Landasan Hukum Pemeriksaan Pajak
Landasan
Hukum Pemeriksaan Pajak adalah Pasal 29 , Pasal 29 A dan pasal 31 UU No. 6
tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 16 tahun 2009
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan .
Pasal
29 ayat (1) UU KUP “Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan”
Pasal
31 ayat (1) UU KUP “Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan”. Dan tata cara Pemeriksaan terbaru adalah
Peraturan Menteri Keuangan No.199/PMK.03/2007 tentang
Pemeriksaan Pajak, yang telah diperbaharui di tahun 2011.
Ruang Lingkup Pemeriksaan Pajak
Sesuai
Pasal 30 ayat 1 PerMenKeu No. 199/PMK.03/2007, ruang lingkup Pemeriksaan Pajak
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat meliputi satu,
beberapa atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa masa Pajak,
bagian tahun Pajak atau tahun Pajak dalam tahun-tahun lalu maupun tahun
berjalan.
Sesuai
Pasal 30 ayat 1 PerMenKeu No. 199/PMK.03/2007, ruang lingkup Pemeriksaan Pajak
untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dapat meliputi penentuan, pencocokan atau
pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.
7.2
Pedoman Pemeriksaan, Norma Pemeriksaan dan Pelaksanaan Pemeriksaan
- Pedoman Pemeriksaan
Pajak
Dalam melaksanakan pemeriksaan, pemeriksaan apajak harus
mengetahui pedoman pemeriksaan pajak yang meliputi tiga hal, yaitu :
1. Pedoman Umum Pemeriksaan Pajak
Yang
diatur dalam pedoman umum ini berkaitan dengan masalah sumber daya manusia
(kemampuan) pemeriksa pajak yang selengkapnya ditentukan sebagai berikut :
a) Telah
mendapatkan pendidikan teknis yang cukup dan memiliki keterampilan sebagai
pemeriksa pajak.
b) Bekerja
dengan jujur, bertanggung jawab, penuh pengabdian, bersifat terbuka, sopan, dan
objektif, serta menghindarkan diri dari perbuatan tercela.
c) Menggunakan
keahliannya secara cermat dan seksama serta memeberikan gambaran yang sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya tentang WP.
d) Menuangkan
hasil pemeriksaan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) sebagai bahan untuk
menyusun Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP)
2. Pedoman Pelaksanaan Pemeriksa
Yang
diatur dalam pedoman pelaksanaan ini adalah sebagai berikut :
a) Pelaksanaan
pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan
pemeriksaan, dan mendapat pengawasan yang saksama.
b) Luas
pemeriksaan ditentukan berdasarkan petunjuk yang diperoleh harus dikembangkan
melalui pencocokan data, pengamatan, Tanya jawab, dan tindakan lain berkenan
dengan pemeriksaan.
c) Pendapat
dan kesimpulan pemeriksaan pajak harus didasarkan pada temuan yang kuat dan
berlandaskan peraturan perundang – undangan perpajakan.
3. Pedoman Laporan Pemeriksaan Pajak
Yang
diatur dalam pedoman laporan ini adalah sebagai berikut :
a) Laporan
Pemeriksaan Pajak (LPP) disusun secara ringkas dan jelas, memuat lingkup sesuai
dengan tujuan pemeriksaan, memuat kesimpulan pemeriksa pajak yang didukung
temuan yang kuat tentang ada atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan
perundang – undangan perpajakan, yang memuat pola pengungkapan informasi lain
yang terkait.
b) LPP
yang berkaitan dengan pengungkapan penyimpangan Surat Pemberitahuan harus
memperhatikan Kertas Kerja Pemeriksa (KKP), antara lain mengenai berbagai
factor perbandingan, nilai absolute dari penyimpangan, pengaruh penyimpangan,
dana hubungan adanya permasalahan lainnya.
c) LPP
ahrus didukung oleh daftar yang lengkap dan rinci sesuai dengan tujuan
pemeriksaan.
- Norma Pemeriksaan
Agar dalam pelaksanaan pemeriksaan pajak dapat berjalan
dengan baik., Meneteri Keuangan telah menetapkan adanya norma pemeriksaan baik
yang berkaitan dengan pemeriksaan pajak (Pemeriksaan Lapangan dan Pemeriksaan
Kantor), pelaksanaan pemeriksaan maupun yang berkaitan dengan WP. Norma
pemeriksaan ini dibuat tidak lain dimaksudkan agar pemeriksa pajak dan WP yang
akan diperiksa masing – masing mengetahui hak dan kewajibannya dalam
pemeriksaan serta adanya kepastian hukum dalam rangka pelaksanaan UU Perpajakn.
Norama pemeriksaan dimaksud adalah seperti diuraikan di bawah ini :
1. Norma Pemeriksaan Pemeriksa Pajak dalam
Rangka Pemeriksaan Lapangan
a) Pemeriksa
pajak harus memiliki Tanda Pengenal Pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat
Perintah pada waktu melakukan pemeriksaan.
b) Pemeriksa
pajak wajib memberitahukan secara tertulis tentang akan dilakukannya
pemeriksaan kepad WP.
c) Pemeriksa
pajak wajib memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah
Pemeriksa kepada WP.
d) Pemeriksa
pajak wajib menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksa kepada WP yang akan
diperiksa.
e) Pemeriksa
pajak wajib membuat Laporan Pemerikssan Pajak.
f) Pemeriksa
pajak wajib memberitahukan secara tertulis kepada WP tentang hasil pemeriksaan
berupa hal – hal yang berbeda antara Surat Pemberitahuan dengan hasil
pemeriksaan untuk ditangapi WP.
g) Pemeriksa
pajak wajib memberi petunjuk kepada WP mengenai penyelengaraan pembukuan dan
pencatatan dan petunjuk lainnya mengenai pemenuhan kewajiban perpajak sehubungan dengan tujuan agar penyelengaraan
pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam tahun – tahun
selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
h) Pemeriksa
pajak wajib mengembalikan buku – buku, catatan – catatan dan dokumen pendukung
lainnya yang dipinjam dari WP paling lama 14 (empat belas) hari sejak
selesainya pemeriksaan.
i) Pemeriksa
pajak dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak segala
sesuatu yang diketahui atau diberitahuakan kepadanya oleh WP dalam rangka
pemeriksaan.
2. Norma Pemeriksaan Pemeriksa Pajak dalam
rangka Pemeriksaan Kantor
a) Pemeriksa
paka, dengan menggunakan surat panggilan yang ditandatangani oleh kepala kantor
yang bersangkutan, memanggil WP untuk dating ke kantor Direktorat Jendral Pajak
yang ditunjuk dalam rangka pemeriksaan.
b) Pemeriksa
pajak wajib menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan kepada WP yang diperiksa.
c) Pemeriksa
pajak wajib membuat Laporan Pemeriksaan Pajak.
d) Pemeriksa
pajak waib memberitahukan secara tertulis kepada WP tentang hasil pemeriksaan
berupa hal – hal yang berbeda antara surat pemberitahuan dengan hasil
pemeriksaan.
e) Pemeriksa
pajak wajib member petunjuk kepada WP mengenai penyelenggara pembukuan atau
pencatatan dan petunjuk lainnya mengenai pemenuhan kewajiban perpajakan
sehubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan agar penyelenggara
pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam tahun –
tahun selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
f) Pemeriksa
pajak wajib mengembalikan buku – buku, catatan – catatan, dan dokumen pendukung
lainnya yang dipinjam dari WP paling lama 7 (tujuh) hari sejak selesainya
pemeriksaan.
g) Pemeriksa
pajak dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak segala
sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh WP dalam rangka
pemeriksaan.
3. Norma Pemeriksaan Berkaitan denga
Pelaksanaan Pemeriksaan
a) Pemeriksaan
dapat dapat dilakukan oleh seorang atau lebih pemeriksa pajak.
b) Pemeriksaan
dilaksanakan di kantor Dirjen Pajak, di kantor WP atau di kantor lainnya atau
di pabrik atau tempat usaha atau di tempat pekerjaan bebas atau di tempat
tinggal WP atau di tempat lainnya yang ditentukan oleh Direjen Pajak.
c) Pemeriksaaan
dilaksanakan pada jam kerja dan apabila dipandang perlu dapat dilanjutkan
diluar jam kerja.
d) Hasil
pemeriksaan dituangkan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan.
e) Laporan
Pemeriksaan Pajak disusun berdasarkan Laporan Pemeriksaan Pajak.
f) Hasil
Pemeriksaan Lapangan yang seluruhnya disetujui WP atau kuasanya, dibuatkan
surat pernyataan tentang persetujuan tersebut dan ditandatangani oleh Wp yang
bersangkutan atau kuasanya.
g) Terhadap
temuan sebagai hasil pemeriksaan lengkap yang tidak atau tidak seluruhnya
disetuji oleh WP, dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan dibuatkan
Berita Acara Hasil Pemeriksan.
h) Berdasrakan
Laporan Pemeriksaan Pajak, diterbitkan surat ketetapan pajak dan surat tagihan pajak,
kecuali pemeriksaan dilanjutkan dengan tindak penyidikan.
4. Norma Pemeriksaan Berkaitan dengan WP
a) Dalam
hal pemeriksaan lapangan, WP berhak meminta kepada pemeriksa pajak untuk
memperlihatkan surat perintah pemeriksaan dan tanda pngenal pemeriksa.
b) WP berhak
meminta kepada pemeriksa pajak untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan
tujuan pemeriksaan.
c) Dalam
hal pemeriksaan kantor, WP wajib memenuhi panggilan untuk dating menghadiri
pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan.
d) WP
wajib memenuhi permintaan peminjaman buku – buku, catatan – catatan, dan
dokumen – dokumen yang diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan dan memberikan
keterangan dalam jangka waktu paling lama tujuh hari sejak tanggal surat
permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh WP, maka pajak yang tertuang dapat
dihitung secara jabatan.
e) WP
berhak meminta kepada pemeriksa pajak rincian yang berkenan dengan hal – hal
yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan surat pemberitahuan.
f) WP
atau kuasanya wajib menandatangani surat pernyataan persetujuan apabila seluruh
hasil pemeriksaan disetujui.
g) Dalam
hak pemeriksaan lengkap, WP atau kuasanya wajib menandatangani Berita Acara
Hasil Pemeriksaanapabila hasil pemeriksaan tersebut tidak atau tidak seleruhnya
disetujui.
h) Dalam
rangka pelaksanaan pemeriksaaan, WP wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 29 UU No. 6 Tahun 1983 tentang KUP sebagaimana telah diubah
denagn UU No. 16 Tahun 2000.
- Pelaksanaan Pemeriksaan
Dalam pelaksanaan pemeriksaan, Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 545/ KMK.04/2000 juga telah menetapkan adanya wewenang Pemeriksa pajak
baik Pemeriksaan Lapangan maupun Pemeriksaan Kantor, yaitu sebagai berikut :
a.
Wewenang Pemeriksa Pajak dalam melakukan
Pemeriksaan Lapangan
·
Memeriksa dan/atau meminjam buku-buku,
catatan-catatan, dan dokumen-dokumen pendukung lainnya termasuk keluaran atau
media komputerdan perangkat elektronik pengolah data lainnya.
·
Meminta keterangan lisan dan/atau tertulis
dari Wajib Pajak yang diperiksa.
·
Memasuki tempat atau ruangan yang diduga
merupakan tempat menyimpan dokumen, uang, barang, yang dapat memberi petunjuk
tentang keadaan usaha wajib pajak dan/atau tempat-tempat lain yang dianggap
penting serta melakukan pemeriksaan di tempat-tempat tersebut.
·
Melakukan penyegelan tempat atau ruangan
apabila wajib pajak atau wakil atau kuasanya tidak memberikan kesempatan untuk
memasuki tempat atau ruangan dimaksud atau tidak ada di tempat pada saat
pemeriksaan dilakukan.
·
Meminta keterangan dan/atau data yang
diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai
hubungan dengan wajib pajak yang diperiksa.
b.
Wewenang Pemeriksa Pajak dalam melakukan
Pemeriksaan Kantor
·
Memeriksa dan/atau meminjam buku-buku dan
catatan-catatan wajib pajak
·
Meminta keterangan lisan dan/atau tertulis
dari wajib pajak yang diperiksa
·
Meminta keterangan dan/atau data yang
diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan wajib pajak yang
diperiksa
Sering
kali dalam pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan, wajib pajak atau kuasanya tidak
berada di tempat, namun demikian pemeriksaan tetap dapat dilaksanakan sepanjang
ada pihak yang dapat dan mempunyai kewenangan untuk bertindak selaku yang
mewakili wajib pajak, terbatas untuk hal yang ada dalam kewenangannya, dan
selanjutnya pemeriksaan ditunda untuk dilanjutkan pada kesempatan berikutnya.
Dalam kondisi demikian pemeriksa pajak dapat melakukan penyegelan sesuai
kewenangan yang dimiliknya. Ketika pemeriksaan akan dilanjutkan ternyata wajib
pajak atau kuasanya tidak juga ada di tempat, maka pemeriksaan tetap
dilaksanakan dengan terlebih dahulu meminta pegawai wajib pajak yang
bersangkutan untuk mewakili wajib pajak guna membantu kelancaran pemeriksaan.
Apabila pegawai wajib pajak menolak untuk membantu kelancaran pemeriksaan,
pegawai tersebut harus menandatangani Surat Pernyataan Penolakan Membantu Kelancaran
Pemeriksaan, yang selanjutnya pemeriksa membuat Berita Acara Penolakan Membantu
Kelancaran Pemeriksaan yang ditandatangani oleh pemeriksa.
7.3
Pengertian Tindak Pidana Pajak
Pengertian
tindak pidana disebut juga dengan istilah “delik”. Kata delik berasal dari bahasa latin yaitu “delictum” dan dalam
bahasa Belanda disebut “delict”. Sedangkan dalam bahasa Indonesia delik
diartikan sebagai perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena pelanggaran
terhadap undang-undang. Pengertian kata “tindak” menurut Prof. Mulyatno lebih
sempit daripada perbuatan karena tidak menunjukkan pada hal yang abstrak
seperti perbuatan tetapi hanya menyatakan keadaan yang konkret. Menurut pakar
hukum Prof. Simon delik diartikan sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya
tersebut dengan sengaja ataupun tidak sengaja dan oleh undang-undang telah
dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum.
Dalam
konsteks hukum pajak, pengertian tindak pidana pajak mempunyai arti suatu
peristiwa atau tindakan melanggar hukum atau undang-undang pajak yang dilakukan
oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh
undang-undang pajak telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan pidana yang dapat
dihukum.
Pemberian
sanksi pidana, diatur dalam undang-undang pajak sebenarnya merupakan senjata
apabila sanksi adminitrasi dirasa belum cukup untuk mencapai tujuan penegakan
hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Penegakan hukum atas peristiwa tindak
pidana pajak mempunyai implikasi yang pada akhirnya bermuara pada penerimaan
negara yang menjadi tugas pemerintah guna kepentingan bersama.
Dalam
undang-undang perpajakan diatur adanya dua macam sanksi yang dapat diterapkan
kepada wajib pajak apabila wajib pajak melanggar UU pajak, yaitu sanksi
administrasi dan sanksi pidana. Beberapa undang-undang yang mencantumkan sanksi
pidana adalah :
-
UU No 13 tahun 2000 (UU KUP – diatur dalam
Pasal 38 s.d. 43)
-
UU No. 12 Tahun 1994 (diatur dalam Pasal 24
dan Pasal 25)
-
UU No. 13 tahun 1985 (diatur dalam Pasal 13
dan Pasal 14)
-
UU No. 18 tahun 1997 (diatur dalam Pasal 37
s.d. Pasal 40)
Sumber
hukum lain yang digunakan sebagai acuan dalam penegakan hukum pajak adalah
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam UU KUP No. 28 tahun 2007 tentang
perubahan ketiga UU No. 6 tahun 1983 tentang KUP, ketentuan pidana diatur dalam
Pasal 38 sampai dengan pasal 43A, yaitu ketentuan pidana baik yang ditujukan
bagi wajib pajak maupun yang ditujukan bagi pegawai pajak (fiskus). Sedangkan
ketentuan pidana bagi pejabat pajak diatur dalam pasal 41.
Dari
semua pasal tindak pidana tersebut, pada prinsipnya dapat dikualifikasikan
dalam dua jenis tindak pidana, yaitu tindak pidana pelanggaran dan tindak
pidana kejahatan. Dalam pasal 38 UU KUP, hukuman untuk tindak pidana
pelanggaran perpajakan adalah pidana kurungan paling lama satu tahun dan atau
denda paling tinggi dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
bayar. Wajib pajak melakukan tindak pidana pelanggaran apabila perbuatannya
dilakukan bukan dengan sengaja atau terjadi karena kelalaian, sehingga
perbuatan tersebut menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Dalam UU KUP
tindak pidana perpajakan yang terjadi karena kealpaan wajib pajak tidak hanya
diatur dalam Pasal 38 tetapi juga diatur dalam Pasal 13A UU KUP No. 28 Tahun
2007. Selanjutnya Pasal 38 UU No. 28 tahun 2007 menyatakan bahwa “setiap orang
yang karena kealpaannya :
-
Tidak menyampaikan surat pemberitahuan, atau
-
Menyampaikan SP, tetapi isinya tidak benar
atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan
tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13A.
Dalam
hukum pidana kelalaian atau kealphaan bisa dibedakan atas kealpaan dengan
kesadaran dan kealphaan tanpa kesadaran. Kealpaan dengan kesadaran diketahui
apabila si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat.
Sedangkan kealphaan tanpa kesadaran diketahui apabila si pelaku tidak
membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam
hukuman oleh undang-undang.
Tindak
pidana yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana kejahatan, ancaman pidananya
lebih berat dari tindak pidana pelanggaran, yaitu pidana penjara paling singkat
enam bulan dan paling lama enam tahun dan denda paling sedikit dua kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak empat kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Bahkan apabila seseorang
melakukan lagi tindak pidana perpajakan sebelum lewat satu tahun sejak
selesainya menjalani sebagain atau seluruh pidana pendajara yang dijatuhkan,
ancaman pidananya ditambahkan satu kali menjadi dua kali sanksi pidana tersebut
diatas.
Dalam
hukum pidana dikenal dua teori dari pengertian kesengajaan (dolus atau opzet)
yaitu teori kehendak dan teori membayangkan. Menurut teori kehendak,
kesengajaan adalah kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu
akibat dari tindakan itu. Sedangkan teori membayangkan menjeleskan bahwa
manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat manusia hanya dapat
mengingini, mengharapkan atau membayangkan kemungkinan adanya suatu akibat.
Dikatakan “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan
dibayangkan sebagai maksud dari tindakan tersebut. tindakan si pelaku dilakukan
sesuai dengan bayangan yang telah dibuatnya terlebih dahulu.
Dari
ketentuan pasal 38,39, dan 39A diatas paling tidak dapat dikelompokan dalam
enam kelompok tindak pidana perpajakan yaitu :
-
Tindak pidana berkaitan dengan pendaftaran
diri untuk memperoleh Nomor Pajak Wajib Pajak (NPWP) dan pengukuhan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP).
-
Tindak pidana berkaitan dengan pengisian dan
penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT).
-
Tindak pidana berkaitan dengan penolakan
pemeriksaan.
-
Tindak pidana berkaitan dengan kewajiban
penyelenggaran pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan.
-
Tindak pidana berkaitan dengan penyetoran
pajak yang telah dipotong atau dipungut
-
Tindak pidana berkaitan dengan penerbitan dan
penggunaan faktur pajak bukti pemungutan pajak dan bukti setoran pajak yang
tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya.
Tindak
pidana perpajakan selain bisa dilakukan oleh pelakunya langsung (dader) juga
bisa dilakukan oleh pihak lain yang tidak secara langsung melakukan tindak
pidana. Mereka yang terlibat bisa digolongkan dalam empat golongan, yaitu :
-
Golongan kedua, yang turut serta melakukan
(mededader)
-
Golongan ketiga, mereka yang menganjurkan
(uitlokker)
-
Golongan keempat, mereka yang membantu
melakukan (medeplichtigheid) tindak pidana dibidang perpajakan.
Terhadap
mereka-mereka ditegaskan dalam pasal 43 UU KUP bisa dikenakan sanksi pidana
sesuai pasal 39 dan Pasal 39A UU KUP.
7.4
Penuntutan Tindak Pidana Pajak
Penuntutan
tindak pidana pajak merupakan rangkaian hukum berikutnya setelah proses hukum
penyidikan berjalan tuntas. Proses penuntutuan dalam tindak pidana pajak adalah
sama dengan tindak pidana umum lainnya. Setelah penyidikan pajak selesai
dilakukan, maka penyidik pajak akan menampaikan hasil penyidikannya kepada
penuntut umum. Sesuai hukum acara pidana, penuntut umumlah yang menentukan kebijakan
suatu penentuan, termasuk penuntutuan tindak pidana di bidang pperpajakan.
Dengan
kata lain, penuntut umum yang menentukan apakah hasil penyidikan yang dilakukan
oleh penyidik pajak (Penyidik Pegawai Negeri Sipil/PPNS Ditjen Pajak) sudah
lengkap atau belum. Apabila penuntut umum belum menyatakan lengkap, maka
penyidik pajak harus melengkapi berkas penyidikannya.
Sesuai
Pasal 1 butir 6 KUHAR, Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang unrtuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak
sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, yang bertindak melakukan
penuntutan tindak pidana perpajakan adalah Jkasa yang diberi wewenang oleh
undang-undang. Pengertian penuntutan itu sendiri adalah tindakan penuntut umum
untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan.
Referensi
B.
Ilyas, Wirawan. Richard Burton. 2011. Hukum
Pajak, Edisi 5. Jakarta: Salemba
Empat
Dailyfirmansyah.blogspot.com.
Pemeriksaan Pajak. (Di akses pada :
Jumat, 20 Maret 2015. Pukul 20.00 wita)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar