Pengertian
Sengketa Pajak
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (5) UU No. 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) yang dimaksud sengketa pajak
adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara WP atau Penanggung
Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada pengadilan pajak berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan
penagihan berdasarkan UU penagihan pajak dengan surat paksa.
Sengketa pajak terjadi karena adanya ketidaksamaan
persepsi atau perbedaan pendapat antara WP dengan petugas pajak mengenai
penetapan pajak terutang yang diterbitkan atau adanya tindakan penagihan yang
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Pengertian sengketa pajak umumnya
diawali dari diterbitkannya surat ketetapan pajak atau diterbitkannya surat
tindakan penagihan pajak. Surat ketetapan pajak yang dimaksud adalah SKPKB, SKPKBT,
SKPLB, dan SKPN. Selain itu, sengketa juga bisa timbul karena adanya pemotongan
atau pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan UU.
Mengacu pada
pengertian tersebut, maka upaya hukum untuk menyelesaikan sengketa yang dapat
diambil dilakukan oleh WP adalah keberatan, banding, peninjauan kembali dan
gugatan. Upaya hukum keberatan atas ketetapan pajak diajukan ke Direktorat
Jenderal Pajak. Sementara itu, upaya hukum banding dan gugatan diajukan ke
pengadilan pajak. Khusus untuk upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) diajukan ke
Mahkamah Agung. Namun demikian, ada upaya hukum dengan nama peninjauan kembali
(huruf kecil) yang juga diajukan ke Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana
diatur dalam Pasal 16 UU KUP.
Penyelesaian
melalui Direktorat Jendral Pajak
Dalam
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, terdapat dua
fihak yang berada dalam posisi yang berseberangan. Mereka adalah Wajib Pajak
yang diberi beban untuk membayar pajak dan Aparat Pajak yang merupakan fihak
yang berwenang dalam mengawasi pemenhuhan kewajiban pajak serta diberi target
untuk mengumpulkan pajak untuk membiayai pengeluaran negara.
Dalam
posisi yang saling berlawanan kepentingan ini, kedua pihak seringkali berbeda
pendapat dalam hal-hal tertentu. Perbedaan ini biasa disebut sengketa pajak.
Sengketa pajak ini biasanya timbul jika fihak aparat pajak mengeluarkan
produk-produk hukum dalam rangka penagihan pajak yaitu Surat Tagihan Pajak
(STP) dan Surat Ketetapan Pajak (SKP), baik berupa SKPKB, SKPLB, SKPN atau
SKPKBT.
Untuk
menyelesaian masalah sengketa pajak ini, Undang-undang KUP telah memberikan
beberapa prosedur penyelesaian. Di bawah ini adalah prosedur-prosedur
penyelesaian sengketa pajak di tingkat internal Direktorat Jenderal Pajak.
1. Pembetulan
Berdasarkan
Pasal 16 Undang-undang KUP, surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan
Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan
Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat
Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan
tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan dapat dibetulkan baik atas permohonan
Wajib Pajak maupun secara jabatan.
2. Pengurangan
atau Penghapusan Sanksi Administrasi
Berdasrkan
Pasal 36 Ayat (1) huruf a, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas
permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi
berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan
karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
3. Pengurangan
atau Pembatalan Ketetapan Pajak
Berdasarkan
Pasal 36 Ayat (1) huruf b, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas
permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan
pajak yang tidak benar
4. Pengurangan
atau Pembatalan Surat Tagihan Pajak
Berdasarkan
Pasal 36 Ayat (1) huruf c, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas
permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar.
5. Pembatalan
Hasil Pemeriksaan
Berdasarkan
Pasal 36 Ayat (1) huruf d, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas
permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat
ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa penyampaian
surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau tanpa pembahasan akhir hasil
pemeriksaan dengan Wajib Pajak
6. Keberatan
Apabila
Wajib Pajak merasa produk hukum yang dikeluarkan oleh aparat pajak berupa surat
ketetapan pajak (SKPKB, SKPLB, SKPN dan SKPKBT) tidak semestinya dan Wajib
Pajak berpendapat lain, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur
Jenderal Pajak.
Penyelesaian Melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak
Dalam pelaksanaan undang - undang perpajakan dimungkinkan juga
adanya upaya hukum dengan nama banding apabila wajib pajak merasa tidak puas
atas keputusan keberatan yang telah dikeluarkan oleh dirjen pajak seperti
dijelaskan pada uraian diatas yang dapat diajukan kepada peradilan pajak dengan
nama badan penyelesaian sengketa pajak (BPSP).
Sejak berlakunya undang undang nomor 17 tahun 1997 tentang badan
penyelesaian sengketa pajak, selain upaya hukum banding yang dapat dilakukan
wajib pajak atas keputusan keberatan yang dikeluarkan dirjen pajak kepada BPSP,
wajib pajak juga dapat mengajukan upaya hukum dengan nama gugatan yaitu gugatan
atas pelaksanaan penagihan pajak seperti pelaksanaan surat paksa, penyitaan dan
lelang dilakukan berdasarkan undang undang penagihan pajak.
Dalam sejarahnya peradilan pajak dengan nama BPSP merupakan
lembaga pengganti dari lembaga yang sebelumnya sudah pernah ada yaitu majelis
pertimbangan pajak yang diatur dalam staatsblad nomor 29 tahun 927 tentang
peraturan pertimbangan pajak. Keberadaan lembaga BPSP merupakan amanat dari
pasal 27 UUKUP yang putusannya bersifat akhir dan berkekuatan hukum tetap
sertya bukan merupakan tata usaha Negara.
Menurut pasal 1 UU BPSP yang dimaksud dengan banding adalah upaya hukum terhadap keputusan pejabat
yang berwenang diatur dalam peraturan perundang undangan perpajakan.
Kontrovensi
Penyelesaian Sengketa Pajak melalui PTUN
Ketika
pengadilan pajak masih bernama Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP)
berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997, terdapat persoalan hukum yaitu
adanya gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak melalui lembaga Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN) berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
Kasus
bermula ketika dilakukan tindakan penagihan pajak terhadap PT Timor.
Gugatan yang diajukan PT Timor
mendasarkan pada ketentuan Pasal 48 dan Pasal 53 Undang-undang PTUN, yang
menegaskan bahwa seseorang atau badan hukum yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu keputusan tata
usaha negara dapat mengajukan gugatannya ke PTUN. Di sisi lain, pasal 27 ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 1983 (UU
KUP) menyatakan bahwa putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan
tata usaha negara.
Dalam
UU BPSP disebutkan BPSP merupakan badan peradilan pajak yang mempunyai tugas
memeriksa dan memutuskan sengketa pajak berupa banding terhadap keputusan
pejabat yang berwenang, yaitu keputusan keberatan dan gugatan terhadap
pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan di bidang penagihan
pajak. Dengan demikian, pengajuan
banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum terakhir bagi pembayar pajak
dan putusannya tidak dapat digugat ke Peradilan Umum atau PTUN.
Dalam
pasal 28 ayat 2 UU BPSP menegaskan bahwa tugas dan wewenang BPSP berada di luar
tugas dan wewenang Peradilan Umum dan Peradilan Tata usaha negara. Pasal 76 UU
BPSP menyatakan bahwa Putusan BPSP merupakan putusan akhir dan bersifat tetap
dan bukan merupakan keputusan PTUN. Dengan kata lain, kewenangan untuk
mengadili sengketa pajak ada pada BPSP dan bukan pada PTUN atau kompetensi
absolut untuk mengadili sengketa pajak ada pada BPSP.
Untuk
menghindari konflik hukum kelembagaan yang timbul, maka dua asas hukum berikut
menjadi acuan untuk menyelesaikan. Pertama, asas hukum adalah ketentuan yang
bersifat khusus mengalahkan ketentuan yang bersifat umum (les specialis derogate lex generalis). Kedua, ketentuan yang lahir
terakhir mengalahkan ketentuan yang lahir lebih dahulu (lex posteriori derogate lex anteriori).
Keracunan
hukum adanya kelembagaan untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa pajak yang
terjadi dalam praktek membuat pemerintahan bersama-sama dengan DPR sepakat
melakukan reformasi UU No 17 tahun 1997 tentang BPSP dengan UU No 14 tahun 2002
tentang pengadilan pajak. Dalam UU peradilan pajak adanya beberapa ketentuan
yang menegaskan adanya idependensi pengadilan dalam memeriksa suatu kasus
sengketa pajak. Dengan kata lain, untuk menghindari adanya duplikasi penfasiran
lembaga yang menangani sengketa pajak, maka hanya pengadilan pajak saja yang
diberikan kewenangan untuk memeriksa sengketa pajak.
Independensi
lain dari lembaga pengadilan pajak terlihat dari putusannya yang merupakan
putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 77 ayat 1). Artinya,
pengadilan pajak adalah satu-satunya lembaga yang diberikan kewenangan oleh
undang-undang untuk memutus sengketa pajak yang bersifat final dan berkekuatan hukum
tetap (inkracht). Jika para pihak
tidak puas atas putusan pengadilan pajak, para pihak bias melakukan upaya hukum
dengan nama “peninjauan kembali” le Mahkamah Agung dengan alasan-alasan
tertentu yang diatur dalam pasal 91 UU No. 14 Tahun 2002.
Pasal
86 yang menegaskan bahwa putusan Pengadilan pajak langsung dapat dilaksnakan
dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan
perundang-undangan mengatur lain. Independensi menunjukkan pengadilan pajak
merupakan lembaga yang tidak lagi memerlukan jalur birokrasi atau jalur
administrasi yang berbelit-belit. Begitu
wajib pajak memperoleh putusan Pengadilan Pajak yang memenangkan sengketa
perpajakannya dengan Dirjen Pajak, maka kantor pajak tempat wajib pajak
terdaftar harus segera memproses putusan tersebut, tanpa perlu menunggu
persetujuan dari aparat birokrasi lainnya, misalnya menteri keuangan atau
direktur jenderal pajak. Dengan demikian wajib pajak memperoleh haknya sesuai
dengan UU Pengadilan Pajak tersebut. Hal inilah yang dikehendaki wajib pajak,
yaitu bila wajib pajak dimenangkan akan memperoleh haknya dan apabila wajib
pajak kaha, wajib pajak melaksanakan kewajibannya sesuai putusan hukum
pengadilan pajak.
Referensi
dari Website :
Dudiwahyudi.com.
Penyelesaian Sengketa Pajak Bagian I.
( Di akses pada tanggal 10 Maret 2015)
Pankga.blogspot.com.
Makalah Penyelesaian Sengketa Hukum. (Di akses pada 13 Maret 2015)
Referensi
dari Buku :
B.
Ilyas, Wirawan. Richard Burton. 2011. Hukum
Pajak, Edisi 5. Jakarta: Salemba
Empat
"BIMTEK PEMERIKSAAN PAJAK DAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK"
BalasHapusInfo hubungi panitia : 0812.9840.1480 | 0819 1753 7570 | PIN BB : 7C684B7E | Line : lek2pn_diklat
#infobimtekpajak #bimtekperpajakan2017 #jadwalbimtekpajak #diklatpajak2017 #infodiklatpajak2017
http://www.lek2pndiklat.com/bimtek-pemeriksaan-pajak-dan-penyelesaian-sengketa-pajak/