Rabu, 08 Juli 2015

Sengketa Pajak

Pengertian Sengketa Pajak
            Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (5) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) yang dimaksud sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara WP atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada pengadilan pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan UU penagihan pajak dengan surat paksa.
            Sengketa pajak terjadi karena adanya ketidaksamaan persepsi atau perbedaan pendapat antara WP dengan petugas pajak mengenai penetapan pajak terutang yang diterbitkan atau adanya tindakan penagihan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Pengertian sengketa pajak umumnya diawali dari diterbitkannya surat ketetapan pajak atau diterbitkannya surat tindakan penagihan pajak. Surat ketetapan pajak yang dimaksud adalah SKPKB, SKPKBT, SKPLB, dan SKPN. Selain itu, sengketa juga bisa timbul karena adanya pemotongan atau pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan UU.
             Mengacu pada pengertian tersebut, maka upaya hukum untuk menyelesaikan sengketa yang dapat diambil dilakukan oleh WP adalah keberatan, banding, peninjauan kembali dan gugatan. Upaya hukum keberatan atas ketetapan pajak diajukan ke Direktorat Jenderal Pajak. Sementara itu, upaya hukum banding dan gugatan diajukan ke pengadilan pajak. Khusus untuk upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) diajukan ke Mahkamah Agung. Namun demikian, ada upaya hukum dengan nama peninjauan kembali (huruf kecil) yang juga diajukan ke Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU KUP.

Penyelesaian melalui Direktorat Jendral Pajak

Dalam melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, terdapat dua fihak yang berada dalam posisi yang berseberangan. Mereka adalah Wajib Pajak yang diberi beban untuk membayar pajak dan Aparat Pajak yang merupakan fihak yang berwenang dalam mengawasi pemenhuhan kewajiban pajak serta diberi target untuk mengumpulkan pajak untuk membiayai pengeluaran negara.
Dalam posisi yang saling berlawanan kepentingan ini, kedua pihak seringkali berbeda pendapat dalam hal-hal tertentu. Perbedaan ini biasa disebut sengketa pajak. Sengketa pajak ini biasanya timbul jika fihak aparat pajak mengeluarkan produk-produk hukum dalam rangka penagihan pajak yaitu Surat Tagihan Pajak (STP) dan Surat Ketetapan Pajak (SKP), baik berupa SKPKB, SKPLB, SKPN atau SKPKBT.
Untuk menyelesaian masalah sengketa pajak ini, Undang-undang KUP telah memberikan beberapa prosedur penyelesaian. Di bawah ini adalah prosedur-prosedur penyelesaian sengketa pajak di tingkat internal Direktorat Jenderal Pajak.
1. Pembetulan
Berdasarkan Pasal 16 Undang-undang KUP, surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan dapat dibetulkan baik atas permohonan Wajib Pajak maupun secara jabatan.
2. Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi
Berdasrkan Pasal 36 Ayat (1) huruf a, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
3. Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak
Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) huruf b, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar
4. Pengurangan atau Pembatalan Surat Tagihan Pajak
Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) huruf c, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar.
5. Pembatalan Hasil Pemeriksaan
Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) huruf d, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau tanpa pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak
6. Keberatan
Apabila Wajib Pajak merasa produk hukum yang dikeluarkan oleh aparat pajak berupa surat ketetapan pajak (SKPKB, SKPLB, SKPN dan SKPKBT) tidak semestinya dan Wajib Pajak berpendapat lain, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak.

Penyelesaian Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Pajak

Dalam pelaksanaan undang - undang perpajakan dimungkinkan juga adanya upaya hukum dengan nama banding apabila wajib pajak merasa tidak puas atas keputusan keberatan yang telah dikeluarkan oleh dirjen pajak seperti dijelaskan pada uraian diatas yang dapat diajukan kepada peradilan pajak dengan nama badan penyelesaian sengketa pajak (BPSP).
Sejak berlakunya undang undang nomor 17 tahun 1997 tentang badan penyelesaian sengketa pajak, selain upaya hukum banding yang dapat dilakukan wajib pajak atas keputusan keberatan yang dikeluarkan dirjen pajak kepada BPSP, wajib pajak juga dapat mengajukan upaya hukum dengan nama gugatan yaitu gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak seperti pelaksanaan surat paksa, penyitaan dan lelang dilakukan berdasarkan undang undang penagihan pajak.
Dalam sejarahnya peradilan pajak dengan nama BPSP merupakan lembaga pengganti dari lembaga yang sebelumnya sudah pernah ada yaitu majelis pertimbangan pajak yang diatur dalam staatsblad nomor 29 tahun 927 tentang peraturan pertimbangan pajak. Keberadaan lembaga BPSP merupakan amanat dari pasal 27 UUKUP yang putusannya bersifat akhir dan berkekuatan hukum tetap sertya bukan merupakan tata usaha Negara.
Menurut pasal 1 UU BPSP yang dimaksud dengan banding  adalah upaya hukum terhadap keputusan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan perundang undangan perpajakan.

Kontrovensi Penyelesaian Sengketa Pajak melalui PTUN

Ketika pengadilan pajak masih bernama Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997, terdapat persoalan hukum yaitu adanya gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak melalui lembaga Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
Kasus bermula ketika dilakukan tindakan penagihan pajak terhadap PT Timor. Gugatan  yang diajukan PT Timor mendasarkan pada ketentuan Pasal 48 dan Pasal 53 Undang-undang PTUN, yang menegaskan bahwa seseorang atau badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan  tata usaha negara dapat mengajukan gugatannya ke PTUN. Di sisi lain,  pasal 27 ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 1983 (UU KUP) menyatakan bahwa putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan tata usaha negara.
Dalam UU BPSP disebutkan BPSP merupakan badan peradilan pajak yang mempunyai tugas memeriksa dan memutuskan sengketa pajak berupa banding terhadap keputusan pejabat yang berwenang, yaitu keputusan keberatan dan gugatan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan di bidang penagihan pajak.  Dengan demikian, pengajuan banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum terakhir bagi pembayar pajak dan putusannya tidak dapat digugat ke Peradilan Umum atau PTUN.
Dalam pasal 28 ayat 2 UU BPSP menegaskan bahwa tugas dan wewenang BPSP berada di luar tugas dan wewenang Peradilan Umum dan Peradilan Tata usaha negara. Pasal 76 UU BPSP menyatakan bahwa Putusan BPSP merupakan putusan akhir dan bersifat tetap dan bukan merupakan keputusan PTUN. Dengan kata lain, kewenangan untuk mengadili sengketa pajak ada pada BPSP dan bukan pada PTUN atau kompetensi absolut untuk mengadili sengketa pajak ada pada BPSP.
Untuk menghindari konflik hukum kelembagaan yang timbul, maka dua asas hukum berikut menjadi acuan untuk menyelesaikan. Pertama, asas hukum adalah ketentuan yang bersifat khusus mengalahkan ketentuan yang bersifat umum (les specialis derogate lex generalis). Kedua, ketentuan yang lahir terakhir mengalahkan ketentuan yang lahir lebih dahulu (lex posteriori derogate lex anteriori).
Keracunan hukum adanya kelembagaan untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa pajak yang terjadi dalam praktek membuat pemerintahan bersama-sama dengan DPR sepakat melakukan reformasi UU No 17 tahun 1997 tentang BPSP dengan UU No 14 tahun 2002 tentang pengadilan pajak. Dalam UU peradilan pajak adanya beberapa ketentuan yang menegaskan adanya idependensi pengadilan dalam memeriksa suatu kasus sengketa pajak. Dengan kata lain, untuk menghindari adanya duplikasi penfasiran lembaga yang menangani sengketa pajak, maka hanya pengadilan pajak saja yang diberikan kewenangan untuk memeriksa sengketa pajak.
Independensi lain dari lembaga pengadilan pajak terlihat dari putusannya yang merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 77 ayat 1). Artinya, pengadilan pajak adalah satu-satunya lembaga yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk memutus sengketa pajak yang bersifat final dan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Jika para pihak tidak puas atas putusan pengadilan pajak, para pihak bias melakukan upaya hukum dengan nama “peninjauan kembali” le Mahkamah Agung dengan alasan-alasan tertentu yang diatur dalam pasal 91 UU No. 14 Tahun 2002.
Pasal 86 yang menegaskan bahwa putusan Pengadilan pajak langsung dapat dilaksnakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain. Independensi menunjukkan pengadilan pajak merupakan lembaga yang tidak lagi memerlukan jalur birokrasi atau jalur administrasi yang berbelit-belit.  Begitu wajib pajak memperoleh putusan Pengadilan Pajak yang memenangkan sengketa perpajakannya dengan Dirjen Pajak, maka kantor pajak tempat wajib pajak terdaftar harus segera memproses putusan tersebut, tanpa perlu menunggu persetujuan dari aparat birokrasi lainnya, misalnya menteri keuangan atau direktur jenderal pajak. Dengan demikian wajib pajak memperoleh haknya sesuai dengan UU Pengadilan Pajak tersebut. Hal inilah yang dikehendaki wajib pajak, yaitu bila wajib pajak dimenangkan akan memperoleh haknya dan apabila wajib pajak kaha, wajib pajak melaksanakan kewajibannya sesuai putusan hukum pengadilan pajak.
Referensi dari Website :
Dudiwahyudi.com. Penyelesaian Sengketa Pajak Bagian I. ( Di akses pada tanggal 10 Maret 2015)
Pankga.blogspot.com. Makalah Penyelesaian Sengketa Hukum. (Di akses pada 13 Maret 2015)

Referensi dari Buku :
B. Ilyas, Wirawan. Richard Burton. 2011. Hukum Pajak, Edisi 5. Jakarta: Salemba Empat


1 komentar:

  1. "BIMTEK PEMERIKSAAN PAJAK DAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK"

    Info hubungi panitia : 0812.9840.1480 | 0819 1753 7570 | PIN BB : 7C684B7E | Line : lek2pn_diklat

    #infobimtekpajak #bimtekperpajakan2017 #jadwalbimtekpajak #diklatpajak2017 #infodiklatpajak2017

    http://www.lek2pndiklat.com/bimtek-pemeriksaan-pajak-dan-penyelesaian-sengketa-pajak/

    BalasHapus