Penyanderaan
Penyanderaaan
adalah pengekangan untuk sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan
menempatkannya di tempat tertentu. Sama halnya dengan pencegahan, penyanderaan
juga hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak bila memenuhi 2 (dua)
syarat, yaitu :
1. Syarat
kuantitatif, yaitu apabila Penanggung Pajak mempunyai utang pajak sekurang –
kurangnya Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah); dan
2. Syarat
kualitatif, yaitu syarat mengenai diragukannya itikad baik Penanggung Pajak
yang bersangkutan dalam melunasi utang pajaknya. Misalnya, Penanggung Pajak
menyembunyikan harta kekayaannya sehingga tidak cukup harta yang dapat
dijadikan jaminan pelunasan utang pajak dan biaya penagihan pajak.
Penerapan
lembaga penyanderaan (gijzeling) ini
tentu saja hanya akan dilaksanakan secara sangat selektif dan hati – hati dan
merupakan upaya hukum terakhir dalam rangka penagihan pajak. Melihat pentingnya
lembaga ini tetap dipertahankan, tampak dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintahan (PP) No. 137 Tahun 200 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderraan,
Rehabilitasi Nama Bank Penanggung Pajak dan Pemberian Ganti Rugi dalam
Penagihan Pajak dengan SP. Secara psikologis, dengan tetap dipertahankaannya
lembaga penyanderaan ini tidak lain dimaksudkan untuk membuat Penanggung Pajak
menjadi malu jika karena tidak membayar pajak, kemudian harus disandera.
Pada
awalnya, maslah penyanderaan diatur dalam Pasal 209 sampai dengan Pasal 214
reglemen Indonesia yang diperbarui (RIB/HIR) serta Pasal 242 samapai dengan
Pasal 258 Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawadan Madura (RBg) sebagai
satu lembaga yang timbul dalam hubungan hukum perdata atau hubungan antara
kreditor dengan debitur dimana debitur yang tidak dapat melunasi utangnya untuk
membayar sejumlah uang kepada kreditor, dapat disandera melalui suatu proses
gugatan ke pengadilan negeri yang dilakuikan oleh kreditor.
Pasal
209 HIR pada intinya menyebutkan bahwa ‘jika tidak ada atau tidak cukup barang
untuk menjalankan putusan seorang berkewajiban dapat disandera. Disini jelas
bahwa sandera (paksa badan) termasuk lingkup hukum eksekusi yang hanya dapat
dijalankan setelah ada putusan pengadilan dalam pokok perkara perdata.
Ketentuan tersebut ternyata tidak pernah dapat dilaksankan karena Surat Edaran
mahkamah agung (SEMA) No. 2 Tahun 1964 dan SEMA No.4 Tahun 1975 yang
memerintahkan kepada para ketua pengadilan dan hakim untuk tidak mempergunakan
lagi peraturan sandera yang diatur dalam HIR atau RBg dengan alas an dianggap
bertentangan dengan perikemanusiaan. Atas dasar SEMA tersebut lalu Direktorat
Jendral Pajak (Dirjen Pajak) Mengeluarkan Surat Edaran No. 06/PJ.4/1979 Tanggal
6 November 1979 yang membekukan pelaksanaan sandera guna menghormati SEMA
tersebut.
Secara
yuridis sebenarnya produk hukum SEMA gugur demi hukum karena SEMA tidak bisa
menggantikan isi UU yang mempunyai urutan atau kedudukan lebih tinggi.
Pertimbangan MA saat mengeluarkan surat edarannya tentu dengan kondisi saat
ini. Hal ini diketahui dengan diterbitkannya kembali Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) No.1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan yang mencabut SEMA No.2
Tahun 1964 dan SEMA No. 4 Tahun 1975, yang menegaskan bahwa pembekuan lembaga
sandera dipandang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan hukum saat ini
yaitu dalam rangka penegakan hukum dan keadilan serta pembangunan bangsa.
Pada
intinya PERMA tersebut mengatur bahwa lembaga paksa badan dapat dilakukan
dengan dua kriteria :
1. Utang
debitur sekurang – kurangnya sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
dan;
2. Debitur
punya itikad tidak baik untuk melunasi utangnya. Itikad tidak baik disini
adalah debitur yang mampu, tetapi tidak mau memenuhi kewajiban untuk membayar
utangnnya.
Ada
dua hal yang menarik dari peraturan MA tersebut, yaitu :
1. Adanya
penegasan perbuatan hukum debitur, penanggung atau penjamin utang yang tidak
memenuhi kewajibannya untuk membayar kembali utang – utangnya, padahal ia mampu
untuk melaksanakannya, merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang nilainnya
lebih besar daripada pelanggran hak asasi atas pelaksanaan paksa badan terhadap
yang bersangkutan. Penekanan disini adalah bagi mereka yang mampu, tetapi tidak
mau melunasi kewajibannya.
2. Adanya
istilah ‘Imprisonment for Civil Debts’ yang
member kesan terjadinya intervensi hukum pidana bagi bagian hukum public
terhadap masalah – masalah perdata (utang pituang).
Lembaga
sandera (paksa badan) ini sangat menarik dalam rangka penegakan hukum dan
keadilan serta pembanguna ekonomi bangsa Indonesia, yang terlihat dengan
semakin ramainya perbincangan masalah sandera dalam RUU tentang Restrukturisasi
Utang dan Penyehatan Perseroan. Dalam RUU tersebut, diatur bahwa debitur dapat
disandera apabila debitur tidak melunasi utangnya kepada kreditor dengan
terlebih dahulu kreditor mengajukan permohonan penyanderaan kepada Pengadilan
Niaga. Ini berarti bahwa lembaga sandera telah menjadi suatu kebutuhan dalam
rangka penegakan hukum dan keadilan seperti ditegaskan dalam Peraturan MA
tersebut.
Namun
demikian, penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam kondisi sebagai berikut :
1. Apabila
Penanggung Pajak sedang beribadah;
2. Apabila
Penanggung Pajak sedang mengikuti siding resmi;
3. Apabila
Penanggung Pajak sedang mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu)
Selanjutnya
penyanderaan hanya dapat dilaksankan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan
yang diterbitkan oleh pejabat (kepala KPP atau kepala KPPBB) setelah memperoleh
izin tertulis dari Menteri Keuangan untuk penagihan pusat atau dariu Gubernur
KDH Tingkat I untuk penagihan pajak daerah.
Jangka
waktu penyanderaan hanya dapt dilakukan paling lama 6 (enam) bulan terhitung
sejak Penanggung Pajak ditempatkan dalam tempat penyanderaan dan dapat
diperpanjang selama – lamanya 6 (enam) bulan. Ketentuan mengenai jangka waktu
maksimum penyanderaan ini didasarkan pada perhitungan besarnya utang pajak,
besarnya jumlah harta yang disembunyikan dan dihubungkan dengan itikad baik
Penanggung Pajak untuk melunasi utang pajaknya.
Dengan
dilakukannya penyanderaan, maka segala biaya yang terjadi seperti biaya hidup
selama dalam penyanderaan dirumah tahanan Negara dan biaya penangkapan dalam
hal Penanggung Pajak melarikan diri dari rumah tahanan Negara menjadi beban
Penanggung Pajak yang disandera yang akan diperhitungkan sebagai biaya
penagihan pajak.
Sekalipun
Penanggung Pajak disandera, selama dalam penyanderaan Penanggung pajak tetap
memperoleh hak – haknya, seperti :
1. Melakukan
ibadah di tempat penyanderaan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing –
masing;
2. Memperoleh
pelayanan kesehatan yang layak sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
3. Mendapat
makanan yang layak termasuk menerima kiriman dari keluarga;
4. Menyampaikan
keluhan tentang perlakuan petugas;
5. Memperoleh
bahan bacaan dan informasi lainnya atas biaya Penanggung Pajak yang disandera;
6. Menerima
kunjungan dari keluarga dan sahabat; dokter pribadi atas biaya sendiri; dan
rohaniawan.
Kemudian
Penanggung Pajak yang disandera tentunya dapat dilepas apabila memenuhi salah
satu hal, seperti di bawah ini (Pasal 34) yaitu;
1. Apabila
utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas;
2. Apabila
jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan itu telah
terpenuhi;
3. Ada
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
4. Berdasarkan
pertimbangan tertentu dari Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
Apakah
karena Penanggung Pajak telah disandera, atas utang pajak yang timbul menjadi
hapus? Tentu saja tidak. Utang pajak dan pelaksanaan penagihan pajak tetap
dilaksanakan dan tidak menjadi hapus, karena pada prinsipnya tujuan
penyanderaan adalah agar Penanggung Pajak tidak menyembunyikan harta kekayaannya
dan berusaha membuat malu, sehingga mau melunasi utang pajaknya.
Mengenai
rehabilitasi nama baik, akan dilaksanakan oleh pejabat dalambentuk 1 (satu)
kali pengumuman pada media cetak harian yang berskala nasional dengan ukuran
yang memadai, yang dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejaka
diterimanya permohonan Penanggung Pajak. Sementara itu, mengenai ganti rugi,
akan diberikan oleh pejabat kepada Penanggung Pajak sebesar Rp 100.000 (seratus
ribu) setiap hari selama masa penyanderaan yang telah dijalani. Ganti rugi
tersebut diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimannya
permohonan.
Penyitaan
Penyitaan
adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh juru sita pajak untuk menguasai
barang Penanggung Pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak
menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Penyitaan
merupakan tindakan penagihan lebih lanjut setelah SP yang hanya dapat dilakukan
setelah batas waktu 2 x 24 jam sebagaimana dimaksud dalam Sp dilewati. Artinya,
apabila Penanggung Pajak/WP tetap tidak melunasi utang pajak sebagaimana yang
tercantum dalam SP, barulah penyitaan dapat dilaksanakan.
Pada
prinsipnya tujuan penyitaan adalah untuk memperoleh jaminan pelunasan utang
pajak dari Penanggung Pajak. Oleh karena itu, penyitaan dapat dilaksanakan
terhadap barang milik Penanggung Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat
usaha, tempat kedudukan, atau tempat lain termasuk yang penguasannya berada di
tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu.
Penyitaan
tersebut dapat dilakukan, baik terhadap barang bergerak maupun barang tidak
bergerak. Termasuk penyitaan terhadap bergerak adalah mobil, perhiasan, uang
tunai, deposito berjangka, tabungan saldo rekening Koran, giro, atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga
lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain. Sementara itu,
yang termasuk barang tidak bergerak adalah tanah, bangunan, dan kapal dengan
isi kotor tertentu. Khusus untuk penyitaan atas barang tidak bergerak berupa
kapal yang bobotnya 20m3 (dua pulung meter kubik) atau lebih harus
didaftarkan di Direktorat Jendral Perhubungan Laut dengan cara menyampaikan
salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita.
Pradigma
baru dalam pelaksanaan penyitaan terhadap barang bergerak, tampaknya lebih
memprioritaskan pada proses penagihan pajak dengan melakukan penyitaan asset
penagihan pajak dengan melakukan penyitaan asset Penanggung Pajak berupa aset
moneter (monetary assets) seperti
deposito berjangka saldo rekening koran, giro, piutang, obligasi, saham, dan
surat berharga lainnya. Penagihan untuk aset demikian cukup efektif sepanjang
jurusita pajak memiliki data atau informasi keberadaan atas aset yang dimaksud.
Pencegahan
Pencegahan
adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu
untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia beradasarkan alas an
tertentu sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Khusus
untuk masalah perpajakan, maka pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap
Penanggung Pajak yang memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
1. Syarat
kuantitatif, yaitu apabila Penanggung Pajak mempunyai utang pajak sekurang –
kurangnya Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah); dan
2. Syarat
kualitatif, yaitu syarat mengenai diragukannya itikad baik Penanggung Pajak
yang bersangkutan dalam melunasi utang pajaknya.
Pencegahan
merupakan bagian dari upaya penagihan pajak yang hanya dapat dilakukan secara
sangat selektif dan hati – hati, karena berkaitan dengan masalah hak asasi
seseorang untuk berpergian keluar negeri. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya
harus berdasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan, sesuai aturan sebagaimana
diatur dalam UU No.9 Tahun tentang Keimigrasian.
Sekalipun
Penanggung Pajak telah dilakukan pencegahan, tidaklah berarti utang pajaknya
menjadi hapus. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 31 UU Penagihan bahwa pencegahan
terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan
terhentinya pelakasnaan penagihan pajak.
Masalah
pencegahan ternyata juga berkaitan dengan masalah penagihan seketika dan
sekaligus. Untuk itu, lihat kembali uraian mengenai penagihan seketika dan
sekaligus, khususnya mengenai upaya hukum yang dilakukan berkaitan dengan WP
yang akan meninggalkan Indonesia untuk selamanya.
Permasalahan
kepastian hukum atas lamanya pencegahan timbul dalam pasal 30 ayat (3) UU Penagihan.
Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa jangka waktu pencegahan ditentukan paling
lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama – lamanya 6 (enam)
bulan. Dengan kata lain, pencegahan hanya dibatasi paling lama 1 (satu) tahun.
UU tampaknya tidak menegaskan bagaimana aspek hukum seandainya pencegahan
terhadap Penanggung Pajak telah lewat 1 (satu) tahun.
Apabila
pencegahan telah lewat satu tahun, seharusnya secara hukum pencegahan dengan
sendirinya tidak ada lagi. Dengan kata lain, Penanggung Pajak dapat pergi
keluar negeri sekalipun masih ada utang pajak. Sebaiknya lamanya waktu
pencegahan tidak perlu diatur. Sepanjang WP belum melunasi utang pajaknya,
tetap tidak diperbolehkan pergi keluar negeri.
Persoalan
hukum lainnya adalah berkaitan dengan pasal 30 ayat (5) yang menyebutkan bahwa
pencegahan dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang sebagai Penanggung Pajak
WP badan atau ahli waris. Ketentuan ini menurut penulis adalah baik., namun
seakan menjadi tidak mempunyai kepastian hukum, karena tidak terlihat suatu
kondisi tanggung jawab dalam suatu perusahaan. UU Perseroan Terbatas No. 1
Tahun 1995 (UU PT) menegaskan bahwa yang bertanggung jawab penuh atas
pengurusan suatu perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan, baik dalam maupun diluar pengadilan adalah Direksi (Pasal
82 UU PT). sementara itu, komisaris adalah perseroann yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasehat kepada direksi
dalam menjalankan perseroan (Pasal 97 UU PT).
Suatu
kasus terjadi dimana seorang Penanggung Jawab (Komisaris Perusahaan) mengalami
sakit dan harus berobat keluar negeri. Karena yang bersangkutan dilakukan
pencegahan, maka tidak bisa berangkat ke luar negeri. Kenyataannya, pencegahan
telah dilakukan juga terhadap direksi perusahaan. Persoalaan hukum timbul
dimana perusahaan telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
dan kantor pajak sudah melakukan klarifikasi untuk mendapatkan pelunasan
melalui hak mendahul atas utang pajak perusahaan. Terhadap kasus yang demikian,
meniimbulkan pertanyaan apa efek hekumnya pencegahan dilakukan terhadap
komisaris kalau dalam kenyataanya toh tetap saja pelunasan utang pajaknya bisa
dilakukan terhadap harta pailit. Bahkan
melihat pada ketentuan UU PT, secara umum yang bertanggung jawab adalah direksi
perusahaan, bukan unsure komisaris.
Hal
lain yang menyebabkan tidak efektifnya penggunaan lembaga pencegahaan adalah
seandainya para Penanggung Pajak tidak pernah berangkat ke luar negeri.
Sekalipun semua komisaris maupun direksi dilakukan pencegahan, tidak ada
pengaruh hukum yang terjadi atas pelunasan utang pajak karena mereka tidak
pernah pergi ke luar negeri. Hal – hal pokok inilah yang perlu mendapat
perhatian untuk perubahan UU dikemudian hari.
Gugatan
Dalam
UU tentang penagihan pajak, gugatan diberikan pengertian sebbagai suatu upaya
hukum terhadap pelaksanaan penagihan pajak dan kepemilikan barang sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang – undangan yang bersangkutan. Gugatan terhadap
pelaksanaan penagihan pajak ini hanya meliputi gugatan atas pelaksanaan Sp,
sita, lelang maupun penyanderaan. Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan
atas pelaksanaan penagihan pajaknya kepada pengadilan pajak. Sementara itu,
gugatan atas kepemilikan barang yang disita diajukan kepada pengadilan negeri.
Pengertian gugatan atas kepemilikian barang termasuk juga dalam pengertian
sanggahan sebagaimana diatur dalam UU KUP.
Gugatan
atas pelaksanaan penagihan pajak ke pengadilan pajak harus diajukan dalam waktu
14 (empat belas) sejak SP, sita, maupun lelang telah dilaksanakan. Hitungan 14
(empat belas) hari dihitung sejak dilakukannya pemberitahuan SP kepada
Penanggung Pajak. Untuk sita dihitung sejak pembuatan Berita Acara Pelaksanaan
Sita, dan untuk lelang dihitung sejak pengumuman lelang. Apabila dalam jangka
waktu yang dimaksud Penanggung Pajak tidak mengajukan gugatan, maka hak untuk
menggugat tidak bisa diterima alias gugur.
Sebelum
UU No. 19 Tahun 1997 diubah, ketentuan Pasal 37 ayat (3) menegaskan bahwa
sekalipun Penanggung Pajak menggunakan upaya hukum gugatan ke pengadilan pajak,
upaya yang dilakukan tidak menunda pelaksanaan penagihan pajak. Akan tetapi,
sejak diberlakukan UU No.19 Tahun 2000 sebagai perubahan atas UU No. 19 1997,
ketentuan pasal 37 ayat (3) tersebut dihapus.
Dengan
dihapusnya ketentuan ini, bisa menimbulkan dua pendapat. Pertama, tindakan penagihan tetap dapat dilaksanakan dengan alas an
tidak ada ketentuan yang mengatur untuk menghentikannya. Kedua, penagihan untuk sementara dihentikan menunggu adanya putusan
pengadilan pajak. Bahkan, dengan dihapuskan ketentuan tersebut, menimbulkan
pertanyaan, mengapa khusus untuk persoalaan gugatan tidak ada ketentuan
tersebut, sementara untuk keberatan (dalam UU KUP) dan banding (dalam UU
Pengadilan Pajak) yang diajukan WP, ketentuan untuk tetap dilakukan tindakan
penagihan tetap masih ada.
Khusus
untuk gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan yang dikabulkan oleh pengadilan
negeri sebagaimana diatur Pasal 34 ayat (4) UU penagihan dan telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap (inkracht), Penanggung
Pajak dapat mengajukan permohonan rehabilitasi nama baik dang anti rugi kepada
pejabat yang menerbitkan Surat Perintah Penyanderaan. Namun, apabila setelah masa
penyanderaan berakhir, Penanggung Pajak tidak dapat lagi mengajukan gugatannya
kepada pengadilan negeri.
Cara
merehabilitasi nama baik Penanggung Pajak diatur dalam Pasal 16 Peraturan
Pemerintah No. 137 tahun 200, yang dilakukan dalam bentuk 1 (satu) kali
pengumuman pada media cetak harian yang berskala nasional dengan ukuran yang
memadai, yang dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya
permohonan rehabilitasi. Sementara itu, untuk ganti ruginya hanya diberikan
sebesar Rp 100.000,- setiap hari selama masa penyanderaan yang telah dijalani.
REFERENSI
Ilyas, Wirawan B dan Richard
Burton. 2011. Hukum Pajak, Edisi 5.
Jakarta: Salemba Empat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar