Rabu, 08 Juli 2015

Penyanderaan Pajak

Penyanderaan
Penyanderaaan adalah pengekangan untuk sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu. Sama halnya dengan pencegahan, penyanderaan juga hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak bila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu :
1.     Syarat kuantitatif, yaitu apabila Penanggung Pajak mempunyai utang pajak sekurang – kurangnya Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah); dan
2.     Syarat kualitatif, yaitu syarat mengenai diragukannya itikad baik Penanggung Pajak yang bersangkutan dalam melunasi utang pajaknya. Misalnya, Penanggung Pajak menyembunyikan harta kekayaannya sehingga tidak cukup harta yang dapat dijadikan jaminan pelunasan utang pajak dan biaya penagihan pajak.
Penerapan lembaga penyanderaan (gijzeling) ini tentu saja hanya akan dilaksanakan secara sangat selektif dan hati – hati dan merupakan upaya hukum terakhir dalam rangka penagihan pajak. Melihat pentingnya lembaga ini tetap dipertahankan, tampak dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintahan (PP) No. 137 Tahun 200 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderraan, Rehabilitasi Nama Bank Penanggung Pajak dan Pemberian Ganti Rugi dalam Penagihan Pajak dengan SP. Secara psikologis, dengan tetap dipertahankaannya lembaga penyanderaan ini tidak lain dimaksudkan untuk membuat Penanggung Pajak menjadi malu jika karena tidak membayar pajak, kemudian harus disandera.
Pada awalnya, maslah penyanderaan diatur dalam Pasal 209 sampai dengan Pasal 214 reglemen Indonesia yang diperbarui (RIB/HIR) serta Pasal 242 samapai dengan Pasal 258 Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawadan Madura (RBg) sebagai satu lembaga yang timbul dalam hubungan hukum perdata atau hubungan antara kreditor dengan debitur dimana debitur yang tidak dapat melunasi utangnya untuk membayar sejumlah uang kepada kreditor, dapat disandera melalui suatu proses gugatan ke pengadilan negeri yang dilakuikan oleh kreditor.
Pasal 209 HIR pada intinya menyebutkan bahwa ‘jika tidak ada atau tidak cukup barang untuk menjalankan putusan seorang berkewajiban dapat disandera. Disini jelas bahwa sandera (paksa badan) termasuk lingkup hukum eksekusi yang hanya dapat dijalankan setelah ada putusan pengadilan dalam pokok perkara perdata. Ketentuan tersebut ternyata tidak pernah dapat dilaksankan karena Surat Edaran mahkamah agung (SEMA) No. 2 Tahun 1964 dan SEMA No.4 Tahun 1975 yang memerintahkan kepada para ketua pengadilan dan hakim untuk tidak mempergunakan lagi peraturan sandera yang diatur dalam HIR atau RBg dengan alas an dianggap bertentangan dengan perikemanusiaan. Atas dasar SEMA tersebut lalu Direktorat Jendral Pajak (Dirjen Pajak) Mengeluarkan Surat Edaran No. 06/PJ.4/1979 Tanggal 6 November 1979 yang membekukan pelaksanaan sandera guna menghormati SEMA tersebut.
Secara yuridis sebenarnya produk hukum SEMA gugur demi hukum karena SEMA tidak bisa menggantikan isi UU yang mempunyai urutan atau kedudukan lebih tinggi. Pertimbangan MA saat mengeluarkan surat edarannya tentu dengan kondisi saat ini. Hal ini diketahui dengan diterbitkannya kembali Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan yang mencabut SEMA No.2 Tahun 1964 dan SEMA No. 4 Tahun 1975, yang menegaskan bahwa pembekuan lembaga sandera dipandang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan hukum saat ini yaitu dalam rangka penegakan hukum dan keadilan serta pembangunan bangsa.
Pada intinya PERMA tersebut mengatur bahwa lembaga paksa badan dapat dilakukan dengan dua kriteria :
1.     Utang debitur sekurang – kurangnya sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan;
2.     Debitur punya itikad tidak baik untuk melunasi utangnya. Itikad tidak baik disini adalah debitur yang mampu, tetapi tidak mau memenuhi kewajiban untuk membayar utangnnya.
Ada dua hal yang menarik dari peraturan MA tersebut, yaitu :
1.     Adanya penegasan perbuatan hukum debitur, penanggung atau penjamin utang yang tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar kembali utang – utangnya, padahal ia mampu untuk melaksanakannya, merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang nilainnya lebih besar daripada pelanggran hak asasi atas pelaksanaan paksa badan terhadap yang bersangkutan. Penekanan disini adalah bagi mereka yang mampu, tetapi tidak mau melunasi kewajibannya.
2.     Adanya istilah ‘Imprisonment for Civil Debts’ yang member kesan terjadinya intervensi hukum pidana bagi bagian hukum public terhadap masalah – masalah perdata (utang pituang).
Lembaga sandera (paksa badan) ini sangat menarik dalam rangka penegakan hukum dan keadilan serta pembanguna ekonomi bangsa Indonesia, yang terlihat dengan semakin ramainya perbincangan masalah sandera dalam RUU tentang Restrukturisasi Utang dan Penyehatan Perseroan. Dalam RUU tersebut, diatur bahwa debitur dapat disandera apabila debitur tidak melunasi utangnya kepada kreditor dengan terlebih dahulu kreditor mengajukan permohonan penyanderaan kepada Pengadilan Niaga. Ini berarti bahwa lembaga sandera telah menjadi suatu kebutuhan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan seperti ditegaskan dalam Peraturan MA tersebut.
Namun demikian, penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam kondisi sebagai berikut :
1.     Apabila Penanggung Pajak sedang beribadah;
2.     Apabila Penanggung Pajak sedang mengikuti siding resmi;
3.     Apabila Penanggung Pajak sedang mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu)
Selanjutnya penyanderaan hanya dapat dilaksankan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh pejabat (kepala KPP atau kepala KPPBB) setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri Keuangan untuk penagihan pusat atau dariu Gubernur KDH Tingkat I untuk penagihan pajak daerah.
Jangka waktu penyanderaan hanya dapt dilakukan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Penanggung Pajak ditempatkan dalam tempat penyanderaan dan dapat diperpanjang selama – lamanya 6 (enam) bulan. Ketentuan mengenai jangka waktu maksimum penyanderaan ini didasarkan pada perhitungan besarnya utang pajak, besarnya jumlah harta yang disembunyikan dan dihubungkan dengan itikad baik Penanggung Pajak untuk melunasi utang pajaknya.
Dengan dilakukannya penyanderaan, maka segala biaya yang terjadi seperti biaya hidup selama dalam penyanderaan dirumah tahanan Negara dan biaya penangkapan dalam hal Penanggung Pajak melarikan diri dari rumah tahanan Negara menjadi beban Penanggung Pajak yang disandera yang akan diperhitungkan sebagai biaya penagihan pajak.
Sekalipun Penanggung Pajak disandera, selama dalam penyanderaan Penanggung pajak tetap memperoleh hak – haknya, seperti :
1.     Melakukan ibadah di tempat penyanderaan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing – masing;
2.     Memperoleh pelayanan kesehatan yang layak sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
3.     Mendapat makanan yang layak termasuk menerima kiriman dari keluarga;
4.     Menyampaikan keluhan tentang perlakuan petugas;
5.     Memperoleh bahan bacaan dan informasi lainnya atas biaya Penanggung Pajak yang disandera;
6.     Menerima kunjungan dari keluarga dan sahabat; dokter pribadi atas biaya sendiri; dan rohaniawan.
Kemudian Penanggung Pajak yang disandera tentunya dapat dilepas apabila memenuhi salah satu hal, seperti di bawah ini (Pasal 34) yaitu;
1.     Apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas;
2.     Apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan itu telah terpenuhi;
3.     Ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
4.     Berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
Apakah karena Penanggung Pajak telah disandera, atas utang pajak yang timbul menjadi hapus? Tentu saja tidak. Utang pajak dan pelaksanaan penagihan pajak tetap dilaksanakan dan tidak menjadi hapus, karena pada prinsipnya tujuan penyanderaan adalah agar Penanggung Pajak tidak menyembunyikan harta kekayaannya dan berusaha membuat malu, sehingga mau melunasi utang pajaknya.
Mengenai rehabilitasi nama baik, akan dilaksanakan oleh pejabat dalambentuk 1 (satu) kali pengumuman pada media cetak harian yang berskala nasional dengan ukuran yang memadai, yang dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejaka diterimanya permohonan Penanggung Pajak. Sementara itu, mengenai ganti rugi, akan diberikan oleh pejabat kepada Penanggung Pajak sebesar Rp 100.000 (seratus ribu) setiap hari selama masa penyanderaan yang telah dijalani. Ganti rugi tersebut diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimannya permohonan.
Penyitaan
Penyitaan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh juru sita pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Penyitaan merupakan tindakan penagihan lebih lanjut setelah SP yang hanya dapat dilakukan setelah batas waktu 2 x 24 jam sebagaimana dimaksud dalam Sp dilewati. Artinya, apabila Penanggung Pajak/WP tetap tidak melunasi utang pajak sebagaimana yang tercantum dalam SP, barulah penyitaan dapat dilaksanakan.
Pada prinsipnya tujuan penyitaan adalah untuk memperoleh jaminan pelunasan utang pajak dari Penanggung Pajak. Oleh karena itu, penyitaan dapat dilaksanakan terhadap barang milik Penanggung Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau tempat lain termasuk yang penguasannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu.
Penyitaan tersebut dapat dilakukan, baik terhadap barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Termasuk penyitaan terhadap bergerak adalah mobil, perhiasan, uang tunai, deposito berjangka, tabungan saldo rekening Koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain. Sementara itu, yang termasuk barang tidak bergerak adalah tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu. Khusus untuk penyitaan atas barang tidak bergerak berupa kapal yang bobotnya 20m3 (dua pulung meter kubik) atau lebih harus didaftarkan di Direktorat Jendral Perhubungan Laut dengan cara menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita.
Pradigma baru dalam pelaksanaan penyitaan terhadap barang bergerak, tampaknya lebih memprioritaskan pada proses penagihan pajak dengan melakukan penyitaan asset penagihan pajak dengan melakukan penyitaan asset Penanggung Pajak berupa aset moneter (monetary assets) seperti deposito berjangka saldo rekening koran, giro, piutang, obligasi, saham, dan surat berharga lainnya. Penagihan untuk aset demikian cukup efektif sepanjang jurusita pajak memiliki data atau informasi keberadaan atas aset yang dimaksud.
Pencegahan
Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia beradasarkan alas an tertentu sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Khusus untuk masalah perpajakan, maka pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
1.     Syarat kuantitatif, yaitu apabila Penanggung Pajak mempunyai utang pajak sekurang – kurangnya Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah); dan
2.     Syarat kualitatif, yaitu syarat mengenai diragukannya itikad baik Penanggung Pajak yang bersangkutan dalam melunasi utang pajaknya.
Pencegahan merupakan bagian dari upaya penagihan pajak yang hanya dapat dilakukan secara sangat selektif dan hati – hati, karena berkaitan dengan masalah hak asasi seseorang untuk berpergian keluar negeri. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya harus berdasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan, sesuai aturan sebagaimana diatur dalam UU No.9 Tahun tentang Keimigrasian.
Sekalipun Penanggung Pajak telah dilakukan pencegahan, tidaklah berarti utang pajaknya menjadi hapus. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 31 UU Penagihan bahwa pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelakasnaan penagihan pajak.
Masalah pencegahan ternyata juga berkaitan dengan masalah penagihan seketika dan sekaligus. Untuk itu, lihat kembali uraian mengenai penagihan seketika dan sekaligus, khususnya mengenai upaya hukum yang dilakukan berkaitan dengan WP yang akan meninggalkan Indonesia untuk selamanya.
Permasalahan kepastian hukum atas lamanya pencegahan timbul dalam pasal 30 ayat (3) UU Penagihan. Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa jangka waktu pencegahan ditentukan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama – lamanya 6 (enam) bulan. Dengan kata lain, pencegahan hanya dibatasi paling lama 1 (satu) tahun. UU tampaknya tidak menegaskan bagaimana aspek hukum seandainya pencegahan terhadap Penanggung Pajak telah lewat 1 (satu) tahun.
Apabila pencegahan telah lewat satu tahun, seharusnya secara hukum pencegahan dengan sendirinya tidak ada lagi. Dengan kata lain, Penanggung Pajak dapat pergi keluar negeri sekalipun masih ada utang pajak. Sebaiknya lamanya waktu pencegahan tidak perlu diatur. Sepanjang WP belum melunasi utang pajaknya, tetap tidak diperbolehkan pergi keluar negeri.
Persoalan hukum lainnya adalah berkaitan dengan pasal 30 ayat (5) yang menyebutkan bahwa pencegahan dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang sebagai Penanggung Pajak WP badan atau ahli waris. Ketentuan ini menurut penulis adalah baik., namun seakan menjadi tidak mempunyai kepastian hukum, karena tidak terlihat suatu kondisi tanggung jawab dalam suatu perusahaan. UU Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995 (UU PT) menegaskan bahwa yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan suatu perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik dalam maupun diluar pengadilan adalah Direksi (Pasal 82 UU PT). sementara itu, komisaris adalah perseroann yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasehat kepada direksi dalam menjalankan perseroan (Pasal 97 UU PT).
Suatu kasus terjadi dimana seorang Penanggung Jawab (Komisaris Perusahaan) mengalami sakit dan harus berobat keluar negeri. Karena yang bersangkutan dilakukan pencegahan, maka tidak bisa berangkat ke luar negeri. Kenyataannya, pencegahan telah dilakukan juga terhadap direksi perusahaan. Persoalaan hukum timbul dimana perusahaan telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan kantor pajak sudah melakukan klarifikasi untuk mendapatkan pelunasan melalui hak mendahul atas utang pajak perusahaan. Terhadap kasus yang demikian, meniimbulkan pertanyaan apa efek hekumnya pencegahan dilakukan terhadap komisaris kalau dalam kenyataanya toh tetap saja pelunasan utang pajaknya bisa dilakukan terhadap harta pailit.  Bahkan melihat pada ketentuan UU PT, secara umum yang bertanggung jawab adalah direksi perusahaan, bukan unsure komisaris.
Hal lain yang menyebabkan tidak efektifnya penggunaan lembaga pencegahaan adalah seandainya para Penanggung Pajak tidak pernah berangkat ke luar negeri. Sekalipun semua komisaris maupun direksi dilakukan pencegahan, tidak ada pengaruh hukum yang terjadi atas pelunasan utang pajak karena mereka tidak pernah pergi ke luar negeri. Hal – hal pokok inilah yang perlu mendapat perhatian untuk perubahan UU dikemudian hari.
Gugatan
Dalam UU tentang penagihan pajak, gugatan diberikan pengertian sebbagai suatu upaya hukum terhadap pelaksanaan penagihan pajak dan kepemilikan barang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang – undangan yang bersangkutan. Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak ini hanya meliputi gugatan atas pelaksanaan Sp, sita, lelang maupun penyanderaan. Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan atas pelaksanaan penagihan pajaknya kepada pengadilan pajak. Sementara itu, gugatan atas kepemilikan barang yang disita diajukan kepada pengadilan negeri. Pengertian gugatan atas kepemilikian barang termasuk juga dalam pengertian sanggahan sebagaimana diatur dalam UU KUP.
Gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak ke pengadilan pajak harus diajukan dalam waktu 14 (empat belas) sejak SP, sita, maupun lelang telah dilaksanakan. Hitungan 14 (empat belas) hari dihitung sejak dilakukannya pemberitahuan SP kepada Penanggung Pajak. Untuk sita dihitung sejak pembuatan Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan untuk lelang dihitung sejak pengumuman lelang. Apabila dalam jangka waktu yang dimaksud Penanggung Pajak tidak mengajukan gugatan, maka hak untuk menggugat tidak bisa diterima alias gugur.
Sebelum UU No. 19 Tahun 1997 diubah, ketentuan Pasal 37 ayat (3) menegaskan bahwa sekalipun Penanggung Pajak menggunakan upaya hukum gugatan ke pengadilan pajak, upaya yang dilakukan tidak menunda pelaksanaan penagihan pajak. Akan tetapi, sejak diberlakukan UU No.19 Tahun 2000 sebagai perubahan atas UU No. 19 1997, ketentuan pasal 37 ayat (3) tersebut dihapus.
Dengan dihapusnya ketentuan ini, bisa menimbulkan dua pendapat. Pertama, tindakan penagihan tetap dapat dilaksanakan dengan alas an tidak ada ketentuan yang mengatur untuk menghentikannya. Kedua, penagihan untuk sementara dihentikan menunggu adanya putusan pengadilan pajak. Bahkan, dengan dihapuskan ketentuan tersebut, menimbulkan pertanyaan, mengapa khusus untuk persoalaan gugatan tidak ada ketentuan tersebut, sementara untuk keberatan (dalam UU KUP) dan banding (dalam UU Pengadilan Pajak) yang diajukan WP, ketentuan untuk tetap dilakukan tindakan penagihan tetap masih ada.
Khusus untuk gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan yang dikabulkan oleh pengadilan negeri sebagaimana diatur Pasal 34 ayat (4) UU penagihan dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht), Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan rehabilitasi nama baik dang anti rugi kepada pejabat yang menerbitkan Surat Perintah Penyanderaan. Namun, apabila setelah masa penyanderaan berakhir, Penanggung Pajak tidak dapat lagi mengajukan gugatannya kepada pengadilan negeri.
Cara merehabilitasi nama baik Penanggung Pajak diatur dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 137 tahun 200, yang dilakukan dalam bentuk 1 (satu) kali pengumuman pada media cetak harian yang berskala nasional dengan ukuran yang memadai, yang dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan rehabilitasi. Sementara itu, untuk ganti ruginya hanya diberikan sebesar Rp 100.000,- setiap hari selama masa penyanderaan yang telah dijalani.

REFERENSI
Ilyas, Wirawan B dan Richard Burton. 2011. Hukum Pajak, Edisi 5. Jakarta: Salemba Empat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar