Sabtu, 25 April 2015

Utang Pajak

3.1  SAAT TIMBULNYA UTANG PAJAK
Saat timbulnya utang pajak mempunyai peranan yang sangat penting karena berkaitan dengan :
1.     Pembayaran pajak;
2.     Memasukan surat keberatan;
3.     Menentukan saat dimulai dan berakhirnya jangka waktu daluwarsa;
4.     Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambah, dan lain – lain;
5.     Menentukan besarnya denda maupun sanksi administrasi lainnya.
Ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak (saat pengakuan adanya utang pajak), yaitu ajaran materiil dan ajaran formil.
  1. Ajaran Materiil
Ajaran materiil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena diberlakukannya undang – undang perpajakan. Dalam ajaran ini seseorang akan secara aktif menentukan apakah dirinya dikenakan pajak atau tidak sesuai dengan peraturan pajak yang berlaku. Ajaran ini konsisten dengan penerapan self assessment system.
  1. Ajaran Formiil
Ajaran formiil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus (pemerintah). Untuk menentukan apakah seseorang dikenakan pajak atau tidak, berpa jumlah pajak yang harus dibayar, dan kapan jangka waktu pembayarannya dapat diketahui dalam surat ketetapan pajak tersebut. Ajaran ini konsisten dengan penerapan official assessment system.
3.2  CARA PENGENAAN UTANG PAJAK
Ada tiga cara pengenaan utang pajak yang dapat dilakukan yaitu :
  1. Pengenaan di Depan (Stelsel Fiksi)
Suatu cara pengenaan pajak yang didasarkan atas suatu anggapan (fiksi) dan anggapan tersebut bergantung pada ketentuan bunyi UU.
Sebagai misal, penghasilan WP pada tahun berjalan dianggap sama dengan penghasilan pada tahun sebelumnya tanpa memperhatikan kondisi penghasilian pada tahun berjalan yang seharusnya digunakan sebagai dasar penetapan besarnya utang pajak pada tahun berjalan. Maka dengan ini fiskus mudah menetapkan besarnya utang pajak untuk tahun yang akan datang.
Pasal 25 UU PPh menyebutkan besarnya angsuran pembayaran pajak yang harus dilaksanakan sendiri oleh WP dalam tahun berjalan. Angsuran pembayaran pajak dilakukan setaip bulan yaitu sebesar seperdua belas dari besarnya PPh tahun pajak yang lalu.
Contohnya : Nyonya Mirnah mempunyai PPh tahun pajak 2012 sebesar Rp.  180 juta, maka angsurann pajak yang harus dibayar Nyonya Mirnah setiap bulan pada tahun pajak 2013 adalah sebesar Rp. 15 juta.

  1. Pengenaan di Belakang (Stelsel Riil)
Suatu cara pengenaan pajak yang didasarkan pada keadaan yang sesungguhnya atau nyata yang diperoleh dalam suatu tahun pajak. Pengenaan pajak di belakang diatur dalam Pasal 29 merupakan cara perhitungan pajak setelah memperhitungkan jumlah pembayarn pajak yang dilakukan di depan. Pengenaan pajak di belakang ini merupakan kekurangan pembayaran pajak yang sebenarnya yang dihitung pada akhir tahun setelah berakhirnya tahun pajak.


  1. Pengenaan Campuran
Suatu cara pengenaan pajak yang mendasarkan pada kedua cara pengenaan diatas yaitu fiksi dan riil. Cara pengenaan pajak ini mengombinasikan cara pengenaan di depan dengan pengenaan di belakang sesuai keadaan yang sebenarnya. Pengenaan cara campuran merupakan cara yang meringankan WP, yang artinya WP diberikan kesempatan untuk mencicil beban pajak dengan cara membayar pajak di depan yang dilakukan setiap bulan. Setelah berakhir tahun pajak, WP menghitung sendiri kekurangan pajak yang sebenarnya terutang. Dengan demikian WP hanya membayar  kekurangan setelah berakhirnya tahun pajak. Cara ini merupakan yang efektif dalam proses pemungutan pajak guna tercapainya penerimaan pajak yang diharapkan pemerintah.
3.3  HAPUSNYA UTANG PAJAK
Ada empat hal yang mengakibatkan hapusnya (berakhirnya) utang pajak, yaitu :
  1. Pembayaran, Wajib pajak melakukan pembayaran atas utang pajak ke kas negara atau tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Pembayaran pajak hanya dilakukan dengan uang.
  2. Kompensasi, suatu cara menghapus utang pajak yang dilakukan melalui cara pemindahan kelebihan pajak pada suatu jenis pajak dengan menutup kekurangan utang pajak atas jenis pajak yang sama atau jenis pajak lainnya.
  3. Daluwarsa, suatu cara untuk menghapus utang pajak karena lampaunya waktu. Daluwarsa utang pajak terjadi karena lampaunya waktu penetapan pajak maupun karena lampaunya waktu proses penagihan pajak. Pasal 13 dan pasal 22 UU No. 16 Tahun 2000 menyatakan daluwarsa penetapan dan penagihan pajak lampau waktu setelah 10 tahun. Artinya setelah batas waktu tersebut wajib pajak tidak lagi mempunyai kewajiban untuk melunasi utang pajak.
  4. Penghapusan, penghapusan piutang pajak disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
a.     Wajib pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak dapat ditemukan.
b.    Wajib pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi yang dbuktikan berdasarkan surat keterangan dari pemerintah daerah setempat.
c.     Sebab lain, misalnya wajib pajak tidak dapat ditemukan lagi atau dokumen tidak dapat ditemukan lagi disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindarkan seperti kebakaran, bencana alam, dan sebagainya.
3.4  TARIF PROGRESIF (MENINGKAT)
Tarif progresif adalah tarif berupa presentase tertentu yang semakin meningkat dengan semakin meningkatnya dasar pengenaan pajak. Tarif progresif dibedakan menjadi tiga yaitu :
  1. Tarif Progresif – Proporsional
Tarif berupa presentase tertentu yang semakin meningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak, dan kenaikan presentase tersebut adalah tetap.
Contoh :

No
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Kenaikan % Tarif
1
2
3
Sampai dengan Rp. 10.000.000
Di atas Rp. 10.000.000 s/d Rp. 25.000.000
Di atas Rp. 25.000.000
15%
25%
35%
-
10%
10%

Tarif Progresif – Proporsional pernah diterapkan di Indonesia untuk menghitung PPh. Tarif ini diberlakukan sejak tahun 1984 sampai dengan tahun 1994 dan diatur dalam Pasal UU No. 7 Tahun 1983.
  1. Tarif Progresif – Progresif
Tarif berupa presentase tertentu yang semakin meningkat dasar pengenaan pajak, dan kenaikan presentase tersebut juga semakin meningkat.
Contoh :

No.
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Kenaikan % Pajak
1
2
3
Sampai dengan Rp. 25.000.000
Di atas Rp. 25.000.000 s/d Rp. 50.000.000
Di atas Rp. 50.000.000
10%
15%
30%
-
5%
15%

Tarif progresif – progresif pernah diterapkan di Indonesia untuk menghitung Pajak Penghasilan. Tarif ini diberlakukan sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2000 dan diatur dalam Pasal 17 UU No. 10 tahun 1994. Mulai tahun 2011, jenis tarif ini masih diberlakukan sampai dengan akhir tahun 2008 tetapi hanya untuk Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap, dengan perubahan pada dasr pengenaan pajak sebagai berikut.

No.
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Kenaikan % Pajak
1
2
3
Sampai dengan Rp. 50.000.000
Di atas Rp. 50.000.000 s/d Rp. 100.000.000
Di atas Rp. 100.000.000
10%
15%
30%
-
5%
15%

  1. Tarif Progresif – Degresif
Tarif berupa presentase tertentu yang semakin meningkat dasar pengenaan pajak, tetapi kenaikan presentase tersebut semakin menurun.
Contoh :

No.
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Kenaikan % Pajak
1
2
3
Rp. 50.000.000
Rp. 100.000.000
Rp. 200.000.000
10%
15%
30%
-
5%
15%

  1. Tarif Degresif (Menurun)
Tarif berupa presentase tertentu yang semakin menurun dengan semakin meningkatnya dasar pengenaan pajak.
Contoh :

No.
Dasar pengenaan Pajak
Tarif Pajak
1
2
3
Rp. 50.000.000
Rp. 100.000.000
Rp. 200.000.000
30%
20%
10%
                                     
3.5  TARIF DEGRESIF (MENURUN)
Tarif progresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya makin besar bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga makin besar. Contoh yang seperti diatur dalam pasal 17 UU PPh sebagai berikut :

  1. Wajib Pajak Orang Pribadi
Lapisan Penghasilan Kena Pajak                                                Tarif Pajak
Sampai Rp25.000.000                                                                            5%
Di atas Rp25.000.000 – Rp50.000.000                                                    10%
Di atas Rp50.000.000 – Rp.100.000.000                                                  15%
Di atas Rp100.000.000 – Rp200.000.000                                     20%
Di atas Rp200.000.000                                                                           35%
  1. Wajib Pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Lapisan Penghasilan Kena Pajak                                                Tarif Pajak
≤Rp50.000.000                                                                                      10%
Rp50.000.000 – Rp100.000.000                                                              15%
>Rp100.000.000                                                                                    30%
Dengan tarif progresif maka jumlah pajak yang terutang lebih besar sesuai dengan kenaikan tarif dan besarnya jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak.
Contoh :
Pak Made mempunyai penghasilan sebesar Rp100.000.000, maka besar pajak terutang Pak Made adalah :
5% x Rp25.000.000 = Rp1.250.000
10% x Rp25.000.000 = Rp2.500.000
15% x Rp50.000.000 = Rp7.500.000
Jumlah pajak terutang = Rp11.250.000
Dalam Pasal 17 UU PPh No. 36 Tahun 2008, tarif progresif untuk WP orang pribadi dalam negeri, diatur sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
≤ Rp50.000.000
5%
Rp50.000.000 – Rp250.000.000
15%
Rp250.000.000 – Rp500.000.000
25%
>Rp500.000.000
30%

3.6  TARIF PROPORSIONAL (SEBANDING)
Tarif proporsional adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan persentase tetap tanpa memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Semakin besar jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak, akan semakin besar pula jumlah pajak terutang (yang harus dibayar). Tarif ini ditetapkan dalam UU No. 18 Tahun 2000 (Undang-undang PPN) yang menggunakan tarif proporsional sebesar 10%. UU No. 12 Tahun 1994 (Undang-undang PBB)nmenggunakan tarif proporsional sebesar 0.5%. UU No. 21 Tahun 2000 (Undang-undang BPHTB) menggunakan tarif proporsional sebesar 5%. Karena tarif proporsional ini hanya menggunakan satu tarif yang persentasenya tetap, maka sering disebut juga tarif tunggal.
3.7  TARIF TETAP
Tarif tetap adalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tapa memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Tarif ini diterapkan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM). Dalam Undang-undang Bea Meterai, tarif yang digunakan adalah Bea Meterai dengan nilai nominal sebesar Rp 500 dan Rp 1.000. Nilai nominal dalam perkembangannya selalu beruba-ubah. Berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 1995, tarif Bea Meterai di atas dinaikan menjadi Rp 1.000 dan Rp 2.000 yang selanjutnya dengan PP Nomor 24 Tahun 2000 tarifnya dinaikan lagi menjadi Rp 3.000 dan Rp 6.000.
3.8  TARIF ADVALOREM
Tarif advalorem adalah suatu tarif dengan presentase tertentu yang dikenakan/ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang.

Contoh :
PT ABC mengimpor barng jenis X sebanyak 1.000 unit dengan harga per unit Rp 100.000. Jika tarif Bea Masuk atas Impor Barang tersebut 10%, maka besarnya Bea Masuk yang harus dibayar adalah
Nilai Barang Impor         = 1000 x Rp 100.000
                                    = Rp 100.000.000
Tarif Bea Masuk 10%, maka Bea Masuk yang harus dibayar        = 10% x Rp 100.000.000
                                                                                                = Rp 10.000.000
3.9  TARIF SPESIFIK
Tarif spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas sesuatu jenis barang tertentu atau sesuatu satuan jenis barang tertentu.

Contoh :
PT BCD mengimpor barang jenis X sebanyak 1000 unit dengan harga Rp 100.000. Jika tarif Bea Masuk atas impor barang Rp 100.000 per unit, maka besarnya Bea Masuk yang harus dibayar adalah
Jumlah Barang Impor = Rp 1000/unit
Tarif Rp 100.000, maka Bea Masuk yang harus dibayar   = Rp 100.000 x 1000
                                                                                    = Rp 100.000.000

REFERENSI
Ilyas, Wirawan B dan Richard Burton. 2011. Hukum Pajak, Edisi 5. Jakarta: Salemba Empat
Siti Resmi. 2009. Perpajakan:Teori dan Kasus, Edisi 5. Jakarta: Salemba Empat.

Handoko, Cucun. 2013. Makalah Pajak-Timbul dan Hapusnya Utang Pajak, diakses pada 17 Februari 2015. http://kabarpajak.blogspot.com/2013/07/makalah-pajak-timbul-dan-hapusnya-utang.html

DASAR TEORI PEMUNGUTAN PAJAK

A.    DASAR TEORI PEMUNGUTAN PAJAK
Dasar teori pemungutan pajak timbul karena adanya pertanyaan saat dilakukannya pemungutan pajak. Tidak ada seorang pun yang rela untuk membayar pajak negara, serta tidak adanya manfaat yang langsung dirasakan. Berdasarkan situasi tersebut, maka dari itu muncul beberapa dasar teori pemungutan pajak, sebagai berikut :
a.     Teori Asuransi
Teori ini diartikan dengan kepentingan masyarakat yang harus dilindungi oleh negara. Masyarakat seakan mempertanggungkan keselamatan dan keamanan jiwa mereka kepada negara dan masyarakat harus membayar “premi” kepada negara.
Teori ini pada dasarnya tidak tepat untuk melandasi pemungutan pajak, karena premi kurang tepat diartikan dengan pajak. Premi sama dengan retribusi yang kontra prestasinya dapat dirasakan langsung, sedangkan pajak tidak demikian. Jika masyarakat mengalami kerugian, pihak negara tidak bisa memberikan pergantian dan jumlah premi tidak bisa dihitung dalam jumlah yang seimbang.

b.    Teori Kepentingan
Teori ini dapat diartikan sebagai negara yang melindungi kepentingan harta benda dan jiwa warga negara dengan memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduknya. Pengeluaran yang akan dikeluarkan oleh negara dibebankan kepada seluruh warga berdasarkan kepentingan warga negara. Warga negara yang memiliki harta sedikit maka membayar pajak juga lebih sedikit kepada negara. Begitu pula sebaliknya dengan warga negara yang memiliki harta benda yang banyak, akan membayar pajak lebih banyak. Landasan teori ini kurang tepat untuk digunakan sebagai dasar pemungutan pajak karena ini lebih kearah retribusi dimana kontra prestasi langsung dirasakan oleh warga negara yang mempunyai kepentingan serta kepentingan warga yang memiliki harta benda sedikit secara social memiliki kepentingan lebih banyak dan seharusnya membayar pajak juga lebih banyak.

c.     Teori Gaya Pikul
Dasar teori ini adalah asas keadilan, yaitu setiap orang yang dikenakan pajak harus sama beratnya. Pajak yang harus dibayar adalah besarnya penghasilan dan besarnya pengeluaran yang dilakukan. Kekuatan untuk membayar pajak baru dilakukan setelah kebutuhan primer (yang merupakan asas minimum) seseorang telah terpenuhi. Dalam konteks UU PPh asas minimum bisa disebut dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Jika seseorang memiliki penghasilan di bawah batas PTKP berarti seseorang tersebut tidak perlun membayar pajak. Namun jika penghasilan seseorang di atas batas PTKP, maka seseorang tersebut membayar pajak sesuai dengan ketentuan berdasarkan asas keadilan yang ditentukan dalam UU PPh.

d.    Teori Gaya Beli
Teori ini menekankan bahwa pembayaran pajak yang dilakukan kepada negara memiliki tujuan untuk memelihara masyarakat dalam negara. Pembayaran pajak yang dilakukan kepada negara lebih ditekankan pada fungsi mengatur (regulerent) dari pajak agar masyarakat tetap eksis.

e.     Teori Bakti
Teori ini menekankan pada paham organische staatsleer yang mengajarkan bahwa sifat negara sebagai organisasi dari individu maka timbul hak mutlak negara untuk memungut pajak. Teori bakti ini bisa dikatakan sebagai adanya perjanjian dalam masyarakat untuk membentuk negara, dimana negara memimpin masyarakat serta adanya kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada negara, maka pembayaran pajak yang dilakukan kepada negara merupakan bakti dari masyarakat. Teori ini disebut juga teori kewajiban pajak mutlak.

B.    YURISDIKSI PEMUNGUTAN PAJAK
Yuridiksni pemungutan pajak merupakan salah satu cara pemungutan pajak yang didasarkan pada temat tinggal seseorang atau berdasarkan kebangsaan seseorang atau berdasarkan sumber di mana penghasilan diperoleh. Yurisdiksi yang dimaksud adalah batas kewenangan yang daoat dilakukan oleh suatu negara dalam memungut pajak terhadap warga negaranya, agar pemungutannya tidak menjadi berulang-ulang yang bias memberatkan orang yang dikenakan pajak.
a.     Asas tempat tinggal
Merupakan suatu asas pemungutan pajak berdasarkan tempat tinggal atau domisili seseorang. Suatu negara hanya dapat memungut pajak terhadap semua orang yang bertempat tinggal atau berdomisili dinegara yang bersangkutan atas seluruh penghasilan dimana pun diperoleh, tanpa memperhatikan apakah orang yang bertempat tinggal tersebut warga negaranya atau warga negara asing.

b.    Asas kebangsaan
Merupakan suatu asas pemungutan pajak yang didasarkan pada kebangsaan suatu negara. Suatu negara akan memungut pajak kepada setiap orang yang mempunyai kebangsaan atas negara yang bersangkutan sekalipun orang tersebut tidak bertempat tinggal di negara yang bersangkutan.

c.     Asas sumber
Merupakan suatu asas pemungutan pajak yang didasarkan pada sumber atau tempat penghasilan berada. Apabila suatu sumber penghasilan berada disuatu negara, maka negara tersebut berhak memungut pajak kepada setiap orang yang memperoleh penghasilan dari tempat atau sumber penghasilan tersebut berada.

C.    STELSEL PEMUNGUTAN PAJAK
Pemungutan Pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel :
a.     Stelsel Nyata (riel Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutan baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kebaikan stelsek ini adalah pajak yang dikenakan akan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).

b.    Stelsel anggapan (ficieve stelsel)
Pengenaan pajak didsarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang – undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun apajak berjalan. Kebaikan stelsel pada akhir tahun. Sedangkan kelemahanya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.

c.     Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi/campuran antara stlesel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak yang dihitung berdasarkan suatu anggapan kemudian pada akhir tahun, besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut, anggapan, maka wajib pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.

D.    PENGGOLONGAN JENIS PAJAK
Jenis-jenis pajak yang dapat dikenakan dapat digolongkan dalam 3 (tiga) golongan yaitu menurut sifatnya, sasarannya/objeknya, dan lembaga pemungutannya.
a.     Penggolongan menurut sifatnya
1.     Pajak Langsung adalah pajak-pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain serta dikenakan secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu. Contoh : pajak penghasilan (PPh), pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak penerangan jalan, pajak kendaraan bermotor, dan lain sebagainya.
2.     Pajak Tidak Langsung adalah pajak-pajak yang bebannya dilimpahkan kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa tertentu saja. Contoh : pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), dan lain-lain.
b.    Penggolongan menurut sasaran atau objek
1.     Pajak Subjektif adalah pajak yang dikenakan pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi wajib pajak (subjek), kemudian memperhatikan keadaan objektifnya sesuai  gaya pikul, apakah dapat dikenakan pajak atau tidak, misalnya pajak penghasilan (PPh). Gaya pikul adalah kemampuan Wajib Pajak memikul pajak setelah dikurangi biaya hidup minimum. Gaya pikul mengandung 2 unsur, yakni :
·         Unsur Subjektif
Unsur subjektif dari gaya pikul mencakup segala kebutuhan terutama kebutuhan material disamping moral dan spiritual. Dalam pajak subjektif harus memperhatikan faktor perseorangan dan keadaan yang berpengaruh terhadap besar kecilnya biaya hidup seperti jumlah keluarga atau jumlah tanggungan.
·         Unsur Objektif
Unsur objektif dari gaya pikul terdiri atas pendapatan (penghasilan), kekayaan, dan belanja (pengeluaran). 
2.     Pajak Objektif adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama memerhatikan/melihat objeknya baik berupa keadaan perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah itu, dicari subjeknya yang mempunyai hubungan hokum dengan objek yang telah diketahui, misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

c.     Penggolongan menurut lembaga pemungutannya
1.     Pajak Pusat dalah jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh Departemen Keuangan. Contoh : Direktorat Jendral Pajak. Besaran pajak pusat ditetapkan melalui undang-undang dan PP/perpu. Jenis-jenis Pajak Pusat yang dikelola oleh Departemen Keuangan  yaitu :
·         Pajak Penghasilan (PPh)
·         Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPNBM)
·         Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
·         Pajak/Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
·         Bea Materai
2.     Pajak Daerah adalah Pajak yang di pungut oleh pemerintah daerah yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda). Hasih pemungutan pajak daerah dikumpulkan sebagai bagian dari penerimaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Besaran dan bentuk dan bentuk pajak daerah ditetapkan melalui peraturan daerah/Perda. Sesuai Undang-undang Nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah jenis-jenis pajak yang dikelola Dinas Pendapatan Daerah adalah :
·         Pajak Daerah Tk. I terdiri atas :
o    Pajak Kendaraan Bermotor
o    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
o    Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
·         Pajak Daerah Tk. II terdiri atas :
o    Pajak Hotel dan Restoran
o    Pajak Hiburan
o    Pajak Reklame
o    Pajak Penerangan Jalan
o    Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C
o    Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
Selain memungut pajak, pemerintah daerah juga melakukan pemungutan dengan nama retribusi yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Tiga jenis retribusi antara lain :
·         Retribusi Jasa Umum yang terdiri atas : Retribusi pelayanan kesehatan; retribusi  pelayanan kebersihan; retribusi parkir di tepi jalan umum; retribusi pasar; retribusi air bersih; dan lain sebagainya.
·         Retribusi Jasa Usaha yang terdiri atas : Retribusi pemakaian kekayaan daerah; retribusi terminal; retribusi tempat khusus parkir; retribusi tempat penitipan anak; retribusi pasar grosir dan/atau pertokoan; dan lain sebagainya
·         Retribusi Perizinan Tertentu yang terdiri atas : Retribusi izin peruntukan penggunaan tanah; retribusi izin mendirikan bangunan; retribusi izin gangguan; retribusi izin trayek; retribusi izin pengambilan hasil hutan ikutan; dan lain sebagainya.

E.    SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK

Terdiri dari empat macam system pemungutan pajak, yaitu :

a.     Official assessment system
Merupakan suatu system pemungutan pajak yang member wewenang kepada pemungut pajak atau fiskus untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar oleh seseorang. Masyarakat wajib pajak memiliki sifat yang pasif di dalam system ini dan menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus.
Pelaksanaan system ini di Indonesia berakhir pada tahun 1967, yaitu dengan diundangkannya UU No. 8 Tahun 1967 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925 dengan Tata Cara MPS dan MPO. Dalam system ini, fiskus mengeluarkan “surat ketetapan sementara” pada awal tahun, dan pada akhir tahun mengelurakan “surat ketetapan pajak rampung” untuk menentukan besarnya utang pajak yang sesungguhnya terutang.

b.    Semi-self assessment system
Merupakan system pemungutan pajak yang member wewenang pada fiskus dan WP untuk menentukan besarnya pajak seseorang yang terutang. Setiap awal tahun, WP menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang untuk tahun berjalan yang merupakan angsuran bagi WP yang harus disetor. Pada akhir tahun, fiskus akan menentukan besarnya utang pajak yang sesungguhnya berdasarkan data yang dilaporkan WP.

c.     Self assessment system
Merupakan system pemungutan pajak yang member wewenang penuh kepada WP untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besar utang pajak. WP bersifat aktif sedangkan fiskus tidak turut campur, kecuali terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh WP. Meskipun WP sudah diberi penuh untuk melaksanakan kewajibannya bukan berarti WP tidak dimungkinkan untuk tidak dilakukan pemeriksaan. Ini artinya Direktorak Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap WP jika diketahui WP tidak benar dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Pada tahun 1984, mulai ditetapkannya system ini di Indonesia dengan diundangkannya UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang mulai berjalan pada 1 Januari 1984.  

d.    Withholding system
Merupakan system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memungut besarnya pajak yang terutang. Pihak ketiga yang telah ditentukan akan melapor kepada fiskus. Pada system ini fiskus dan WP bersifat tidak aktif. Fiskus hanya bertugas mengawasi pelaksanaan pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga.












REFERENSI
Ilyas, Wirawan B dan Richard Burton. 2011. Hukum Pajak, Edisi 5. Jakarta: Salemba Empat
Mardiasmo. 2011. Perpajakan, Edisi Revisi 2011. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta
Ayunanda, Citra. 2012. Sistem Pemungutan Pajak, diakses pada 13 Februari 2015.  <http://citraayuananda.blogspot.com/2012/12/sistem-pemungutan-pajak.html>
Dewi, Indah Kusuma. 2013. Dasar Teori dan Yuridiksi Pemungutan, diakses pada 13 Februari 2015. <http://indahialfproject.blogspot.com/2013/03/dasar-teori-dan-yurisdiksi-pemungutan.html>

Pratama, Oggy. 2012. Dasar Teori Pemungutan Pajak, diakses pada 13 Februari 2015, <http://oggypratama.blogspot.com/2012/05/dasar-teori-pemungutan-pajak.html>