3.1 SAAT TIMBULNYA UTANG PAJAK
Saat timbulnya utang pajak
mempunyai peranan yang sangat penting karena berkaitan dengan :
1.
Pembayaran pajak;
2.
Memasukan surat keberatan;
3.
Menentukan saat dimulai dan berakhirnya
jangka waktu daluwarsa;
4.
Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambah, dan lain – lain;
5.
Menentukan besarnya denda maupun sanksi
administrasi lainnya.
Ada dua ajaran yang mengatur
timbulnya utang pajak (saat pengakuan adanya utang pajak), yaitu ajaran
materiil dan ajaran formil.
- Ajaran
Materiil
Ajaran
materiil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena diberlakukannya undang –
undang perpajakan. Dalam ajaran ini seseorang akan secara aktif menentukan
apakah dirinya dikenakan pajak atau tidak sesuai dengan peraturan pajak yang
berlaku. Ajaran ini konsisten dengan penerapan self assessment system.
- Ajaran
Formiil
Ajaran
formiil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat
ketetapan pajak oleh fiskus (pemerintah). Untuk menentukan apakah seseorang
dikenakan pajak atau tidak, berpa jumlah pajak yang harus dibayar, dan kapan
jangka waktu pembayarannya dapat diketahui dalam surat ketetapan pajak
tersebut. Ajaran ini konsisten dengan penerapan official assessment system.
3.2 CARA PENGENAAN UTANG PAJAK
Ada tiga cara pengenaan
utang pajak yang dapat dilakukan yaitu :
- Pengenaan
di Depan (Stelsel Fiksi)
Suatu
cara pengenaan pajak yang didasarkan atas suatu anggapan (fiksi) dan anggapan
tersebut bergantung pada ketentuan bunyi UU.
Sebagai
misal, penghasilan WP pada tahun berjalan dianggap sama dengan penghasilan pada
tahun sebelumnya tanpa memperhatikan kondisi penghasilian pada tahun berjalan
yang seharusnya digunakan sebagai dasar penetapan besarnya utang pajak pada
tahun berjalan. Maka dengan ini fiskus mudah menetapkan besarnya utang pajak
untuk tahun yang akan datang.
Pasal
25 UU PPh menyebutkan besarnya angsuran pembayaran pajak yang harus
dilaksanakan sendiri oleh WP dalam tahun berjalan. Angsuran pembayaran pajak
dilakukan setaip bulan yaitu sebesar seperdua belas dari besarnya PPh tahun
pajak yang lalu.
Contohnya
: Nyonya Mirnah mempunyai PPh tahun pajak 2012 sebesar Rp. 180 juta, maka angsurann pajak yang harus
dibayar Nyonya Mirnah setiap bulan pada tahun pajak 2013 adalah sebesar Rp. 15
juta.
- Pengenaan
di Belakang (Stelsel Riil)
Suatu
cara pengenaan pajak yang didasarkan pada keadaan yang sesungguhnya atau nyata
yang diperoleh dalam suatu tahun pajak. Pengenaan pajak di belakang diatur
dalam Pasal 29 merupakan cara perhitungan pajak setelah memperhitungkan jumlah
pembayarn pajak yang dilakukan di depan. Pengenaan pajak di belakang ini
merupakan kekurangan pembayaran pajak yang sebenarnya yang dihitung pada akhir
tahun setelah berakhirnya tahun pajak.
- Pengenaan
Campuran
Suatu cara pengenaan
pajak yang mendasarkan pada kedua cara pengenaan diatas yaitu fiksi dan riil. Cara pengenaan
pajak ini mengombinasikan cara pengenaan di depan dengan pengenaan di belakang
sesuai keadaan yang sebenarnya. Pengenaan cara campuran merupakan cara yang
meringankan WP, yang artinya WP diberikan kesempatan untuk mencicil beban pajak
dengan cara membayar pajak di depan yang dilakukan setiap bulan. Setelah
berakhir tahun pajak, WP menghitung sendiri kekurangan pajak yang sebenarnya
terutang. Dengan demikian WP hanya membayar
kekurangan setelah berakhirnya tahun pajak. Cara ini merupakan yang
efektif dalam proses pemungutan pajak guna tercapainya penerimaan pajak yang
diharapkan pemerintah.
3.3 HAPUSNYA UTANG PAJAK
Ada empat hal yang
mengakibatkan hapusnya (berakhirnya) utang pajak, yaitu :
- Pembayaran,
Wajib pajak melakukan pembayaran atas utang pajak ke kas negara atau
tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Pembayaran pajak hanya
dilakukan dengan uang.
- Kompensasi,
suatu cara menghapus utang pajak yang dilakukan melalui cara pemindahan
kelebihan pajak pada suatu jenis pajak dengan menutup kekurangan utang
pajak atas jenis pajak yang sama atau jenis pajak lainnya.
- Daluwarsa,
suatu cara untuk menghapus utang pajak karena lampaunya waktu. Daluwarsa
utang pajak terjadi karena lampaunya waktu penetapan pajak maupun karena
lampaunya waktu proses penagihan pajak. Pasal 13 dan pasal 22 UU No. 16
Tahun 2000 menyatakan daluwarsa penetapan dan penagihan pajak lampau waktu
setelah 10 tahun. Artinya setelah batas waktu tersebut wajib pajak tidak
lagi mempunyai kewajiban untuk melunasi utang pajak.
- Penghapusan,
penghapusan piutang pajak disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
a.
Wajib pajak meninggal dunia dengan tidak
meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak
dapat ditemukan.
b.
Wajib pajak tidak mempunyai harta kekayaan
lagi yang dbuktikan berdasarkan surat keterangan dari pemerintah daerah
setempat.
c.
Sebab lain, misalnya wajib pajak tidak dapat
ditemukan lagi atau dokumen tidak dapat ditemukan lagi disebabkan keadaan yang
tidak dapat dihindarkan seperti kebakaran, bencana alam, dan sebagainya.
3.4 TARIF PROGRESIF (MENINGKAT)
Tarif progresif adalah tarif
berupa presentase tertentu yang semakin meningkat dengan semakin meningkatnya
dasar pengenaan pajak. Tarif progresif dibedakan menjadi tiga yaitu :
- Tarif
Progresif – Proporsional
Tarif
berupa presentase tertentu yang semakin meningkat dengan meningkatnya dasar
pengenaan pajak, dan kenaikan presentase tersebut adalah tetap.
Contoh
:
No
|
Dasar
Pengenaan Pajak
|
Tarif
Pajak
|
Kenaikan % Tarif
|
1
2
3
|
Sampai dengan Rp.
10.000.000
Di atas Rp. 10.000.000 s/d
Rp. 25.000.000
Di atas Rp. 25.000.000
|
15%
25%
35%
|
-
10%
10%
|
Tarif
Progresif – Proporsional pernah diterapkan di Indonesia untuk menghitung PPh.
Tarif ini diberlakukan sejak tahun 1984 sampai dengan tahun 1994 dan diatur
dalam Pasal UU No. 7 Tahun 1983.
- Tarif
Progresif – Progresif
Tarif
berupa presentase tertentu yang semakin meningkat dasar pengenaan pajak, dan
kenaikan presentase tersebut juga semakin meningkat.
Contoh
:
No.
|
Dasar
Pengenaan Pajak
|
Tarif
Pajak
|
Kenaikan % Pajak
|
1
2
3
|
Sampai dengan Rp.
25.000.000
Di atas Rp. 25.000.000 s/d
Rp. 50.000.000
Di atas Rp. 50.000.000
|
10%
15%
30%
|
-
5%
15%
|
Tarif
progresif – progresif pernah diterapkan di Indonesia untuk menghitung Pajak
Penghasilan. Tarif ini diberlakukan sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2000
dan diatur dalam Pasal 17 UU No. 10 tahun 1994. Mulai tahun 2011, jenis tarif
ini masih diberlakukan sampai dengan akhir tahun 2008 tetapi hanya untuk Wajib
Pajak badan dan bentuk usaha tetap, dengan perubahan pada dasr pengenaan pajak
sebagai berikut.
No.
|
Dasar
Pengenaan Pajak
|
Tarif
Pajak
|
Kenaikan % Pajak
|
1
2
3
|
Sampai dengan Rp.
50.000.000
Di atas Rp. 50.000.000 s/d
Rp. 100.000.000
Di atas Rp. 100.000.000
|
10%
15%
30%
|
-
5%
15%
|
- Tarif
Progresif – Degresif
Tarif
berupa presentase tertentu yang semakin meningkat dasar pengenaan pajak, tetapi
kenaikan presentase tersebut semakin menurun.
Contoh
:
No.
|
Dasar
Pengenaan Pajak
|
Tarif
Pajak
|
Kenaikan % Pajak
|
1
2
3
|
Rp.
50.000.000
Rp.
100.000.000
Rp.
200.000.000
|
10%
15%
30%
|
-
5%
15%
|
- Tarif
Degresif (Menurun)
Tarif
berupa presentase tertentu yang semakin menurun dengan semakin meningkatnya
dasar pengenaan pajak.
Contoh
:
No.
|
Dasar
pengenaan Pajak
|
Tarif Pajak
|
1
2
3
|
Rp.
50.000.000
Rp.
100.000.000
Rp.
200.000.000
|
30%
20%
10%
|
3.5 TARIF DEGRESIF (MENURUN)
Tarif progresif adalah tarif
pemungutan pajak yang persentasenya makin besar bila jumlah yang dijadikan
dasar pengenaan pajak juga makin besar. Contoh yang seperti diatur dalam pasal
17 UU PPh sebagai berikut :
- Wajib
Pajak Orang Pribadi
Lapisan Penghasilan Kena
Pajak Tarif
Pajak
Sampai Rp25.000.000 5%
Di
atas Rp25.000.000 – Rp50.000.000 10%
Di
atas Rp50.000.000 – Rp.100.000.000 15%
Di
atas Rp100.000.000 – Rp200.000.000 20%
Di
atas Rp200.000.000 35%
- Wajib
Pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Lapisan Penghasilan Kena
Pajak Tarif
Pajak
≤Rp50.000.000 10%
Rp50.000.000 – Rp100.000.000 15%
>Rp100.000.000
30%
Dengan tarif progresif maka jumlah
pajak yang terutang lebih besar sesuai dengan kenaikan tarif dan besarnya
jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak.
Contoh
:
Pak
Made mempunyai penghasilan sebesar Rp100.000.000, maka besar pajak terutang Pak
Made adalah :
5% x
Rp25.000.000 = Rp1.250.000
10%
x Rp25.000.000 = Rp2.500.000
15%
x Rp50.000.000 = Rp7.500.000
Jumlah
pajak terutang = Rp11.250.000
Dalam Pasal 17 UU PPh No. 36
Tahun 2008, tarif progresif untuk WP orang pribadi dalam negeri, diatur sebagai
berikut :
Lapisan
Penghasilan Kena Pajak
|
Tarif
Pajak
|
≤ Rp50.000.000
|
5%
|
Rp50.000.000 – Rp250.000.000
|
15%
|
Rp250.000.000 – Rp500.000.000
|
25%
|
>Rp500.000.000
|
30%
|
3.6 TARIF PROPORSIONAL (SEBANDING)
Tarif proporsional adalah
tarif pemungutan pajak yang menggunakan persentase tetap tanpa memerhatikan
jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Semakin besar jumlah yang
dijadikan dasar pengenaan pajak, akan semakin besar pula jumlah pajak terutang
(yang harus dibayar). Tarif ini ditetapkan dalam UU No. 18 Tahun 2000
(Undang-undang PPN) yang menggunakan tarif proporsional sebesar 10%. UU No. 12
Tahun 1994 (Undang-undang PBB)nmenggunakan tarif proporsional sebesar 0.5%. UU
No. 21 Tahun 2000 (Undang-undang BPHTB) menggunakan tarif proporsional sebesar
5%. Karena tarif proporsional ini hanya menggunakan satu tarif yang
persentasenya tetap, maka sering disebut juga tarif tunggal.
3.7 TARIF TETAP
Tarif tetap adalah tarif
pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tapa memerhatikan jumlah yang
dijadikan dasar pengenaan pajak. Tarif ini diterapkan dalam Undang-undang Nomor
13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM). Dalam Undang-undang Bea Meterai, tarif
yang digunakan adalah Bea Meterai dengan nilai nominal sebesar Rp 500 dan Rp
1.000. Nilai nominal dalam perkembangannya selalu beruba-ubah. Berdasarkan PP
Nomor 7 Tahun 1995, tarif Bea Meterai di atas dinaikan menjadi Rp 1.000 dan Rp
2.000 yang selanjutnya dengan PP Nomor 24 Tahun 2000 tarifnya dinaikan lagi
menjadi Rp 3.000 dan Rp 6.000.
3.8 TARIF ADVALOREM
Tarif
advalorem adalah suatu tarif dengan presentase tertentu yang
dikenakan/ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang.
Contoh
:
PT
ABC mengimpor barng jenis X sebanyak 1.000 unit dengan harga per unit Rp
100.000. Jika tarif Bea Masuk atas Impor Barang tersebut 10%, maka besarnya Bea
Masuk yang harus dibayar adalah
Nilai
Barang Impor = 1000 x Rp 100.000
= Rp
100.000.000
Tarif
Bea Masuk 10%, maka Bea Masuk yang harus dibayar = 10% x Rp 100.000.000
=
Rp 10.000.000
3.9 TARIF SPESIFIK
Tarif
spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas sesuatu jenis barang
tertentu atau sesuatu satuan jenis barang tertentu.
Contoh
:
PT
BCD mengimpor barang jenis X sebanyak 1000 unit dengan harga Rp 100.000. Jika
tarif Bea Masuk atas impor barang Rp 100.000 per unit, maka besarnya Bea Masuk
yang harus dibayar adalah
Jumlah
Barang Impor = Rp 1000/unit
Tarif
Rp 100.000, maka Bea Masuk yang harus dibayar =
Rp 100.000 x 1000
=
Rp 100.000.000
REFERENSI
Ilyas, Wirawan B dan Richard
Burton. 2011. Hukum Pajak, Edisi 5.
Jakarta: Salemba Empat
Siti
Resmi. 2009. Perpajakan:Teori dan Kasus, Edisi
5. Jakarta: Salemba Empat.
Handoko,
Cucun. 2013. Makalah Pajak-Timbul dan
Hapusnya Utang Pajak, diakses pada 17 Februari 2015. http://kabarpajak.blogspot.com/2013/07/makalah-pajak-timbul-dan-hapusnya-utang.html