Sabtu, 25 April 2015

Utang Pajak

3.1  SAAT TIMBULNYA UTANG PAJAK
Saat timbulnya utang pajak mempunyai peranan yang sangat penting karena berkaitan dengan :
1.     Pembayaran pajak;
2.     Memasukan surat keberatan;
3.     Menentukan saat dimulai dan berakhirnya jangka waktu daluwarsa;
4.     Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambah, dan lain – lain;
5.     Menentukan besarnya denda maupun sanksi administrasi lainnya.
Ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak (saat pengakuan adanya utang pajak), yaitu ajaran materiil dan ajaran formil.
  1. Ajaran Materiil
Ajaran materiil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena diberlakukannya undang – undang perpajakan. Dalam ajaran ini seseorang akan secara aktif menentukan apakah dirinya dikenakan pajak atau tidak sesuai dengan peraturan pajak yang berlaku. Ajaran ini konsisten dengan penerapan self assessment system.
  1. Ajaran Formiil
Ajaran formiil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus (pemerintah). Untuk menentukan apakah seseorang dikenakan pajak atau tidak, berpa jumlah pajak yang harus dibayar, dan kapan jangka waktu pembayarannya dapat diketahui dalam surat ketetapan pajak tersebut. Ajaran ini konsisten dengan penerapan official assessment system.
3.2  CARA PENGENAAN UTANG PAJAK
Ada tiga cara pengenaan utang pajak yang dapat dilakukan yaitu :
  1. Pengenaan di Depan (Stelsel Fiksi)
Suatu cara pengenaan pajak yang didasarkan atas suatu anggapan (fiksi) dan anggapan tersebut bergantung pada ketentuan bunyi UU.
Sebagai misal, penghasilan WP pada tahun berjalan dianggap sama dengan penghasilan pada tahun sebelumnya tanpa memperhatikan kondisi penghasilian pada tahun berjalan yang seharusnya digunakan sebagai dasar penetapan besarnya utang pajak pada tahun berjalan. Maka dengan ini fiskus mudah menetapkan besarnya utang pajak untuk tahun yang akan datang.
Pasal 25 UU PPh menyebutkan besarnya angsuran pembayaran pajak yang harus dilaksanakan sendiri oleh WP dalam tahun berjalan. Angsuran pembayaran pajak dilakukan setaip bulan yaitu sebesar seperdua belas dari besarnya PPh tahun pajak yang lalu.
Contohnya : Nyonya Mirnah mempunyai PPh tahun pajak 2012 sebesar Rp.  180 juta, maka angsurann pajak yang harus dibayar Nyonya Mirnah setiap bulan pada tahun pajak 2013 adalah sebesar Rp. 15 juta.

  1. Pengenaan di Belakang (Stelsel Riil)
Suatu cara pengenaan pajak yang didasarkan pada keadaan yang sesungguhnya atau nyata yang diperoleh dalam suatu tahun pajak. Pengenaan pajak di belakang diatur dalam Pasal 29 merupakan cara perhitungan pajak setelah memperhitungkan jumlah pembayarn pajak yang dilakukan di depan. Pengenaan pajak di belakang ini merupakan kekurangan pembayaran pajak yang sebenarnya yang dihitung pada akhir tahun setelah berakhirnya tahun pajak.


  1. Pengenaan Campuran
Suatu cara pengenaan pajak yang mendasarkan pada kedua cara pengenaan diatas yaitu fiksi dan riil. Cara pengenaan pajak ini mengombinasikan cara pengenaan di depan dengan pengenaan di belakang sesuai keadaan yang sebenarnya. Pengenaan cara campuran merupakan cara yang meringankan WP, yang artinya WP diberikan kesempatan untuk mencicil beban pajak dengan cara membayar pajak di depan yang dilakukan setiap bulan. Setelah berakhir tahun pajak, WP menghitung sendiri kekurangan pajak yang sebenarnya terutang. Dengan demikian WP hanya membayar  kekurangan setelah berakhirnya tahun pajak. Cara ini merupakan yang efektif dalam proses pemungutan pajak guna tercapainya penerimaan pajak yang diharapkan pemerintah.
3.3  HAPUSNYA UTANG PAJAK
Ada empat hal yang mengakibatkan hapusnya (berakhirnya) utang pajak, yaitu :
  1. Pembayaran, Wajib pajak melakukan pembayaran atas utang pajak ke kas negara atau tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Pembayaran pajak hanya dilakukan dengan uang.
  2. Kompensasi, suatu cara menghapus utang pajak yang dilakukan melalui cara pemindahan kelebihan pajak pada suatu jenis pajak dengan menutup kekurangan utang pajak atas jenis pajak yang sama atau jenis pajak lainnya.
  3. Daluwarsa, suatu cara untuk menghapus utang pajak karena lampaunya waktu. Daluwarsa utang pajak terjadi karena lampaunya waktu penetapan pajak maupun karena lampaunya waktu proses penagihan pajak. Pasal 13 dan pasal 22 UU No. 16 Tahun 2000 menyatakan daluwarsa penetapan dan penagihan pajak lampau waktu setelah 10 tahun. Artinya setelah batas waktu tersebut wajib pajak tidak lagi mempunyai kewajiban untuk melunasi utang pajak.
  4. Penghapusan, penghapusan piutang pajak disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
a.     Wajib pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak dapat ditemukan.
b.    Wajib pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi yang dbuktikan berdasarkan surat keterangan dari pemerintah daerah setempat.
c.     Sebab lain, misalnya wajib pajak tidak dapat ditemukan lagi atau dokumen tidak dapat ditemukan lagi disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindarkan seperti kebakaran, bencana alam, dan sebagainya.
3.4  TARIF PROGRESIF (MENINGKAT)
Tarif progresif adalah tarif berupa presentase tertentu yang semakin meningkat dengan semakin meningkatnya dasar pengenaan pajak. Tarif progresif dibedakan menjadi tiga yaitu :
  1. Tarif Progresif – Proporsional
Tarif berupa presentase tertentu yang semakin meningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak, dan kenaikan presentase tersebut adalah tetap.
Contoh :

No
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Kenaikan % Tarif
1
2
3
Sampai dengan Rp. 10.000.000
Di atas Rp. 10.000.000 s/d Rp. 25.000.000
Di atas Rp. 25.000.000
15%
25%
35%
-
10%
10%

Tarif Progresif – Proporsional pernah diterapkan di Indonesia untuk menghitung PPh. Tarif ini diberlakukan sejak tahun 1984 sampai dengan tahun 1994 dan diatur dalam Pasal UU No. 7 Tahun 1983.
  1. Tarif Progresif – Progresif
Tarif berupa presentase tertentu yang semakin meningkat dasar pengenaan pajak, dan kenaikan presentase tersebut juga semakin meningkat.
Contoh :

No.
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Kenaikan % Pajak
1
2
3
Sampai dengan Rp. 25.000.000
Di atas Rp. 25.000.000 s/d Rp. 50.000.000
Di atas Rp. 50.000.000
10%
15%
30%
-
5%
15%

Tarif progresif – progresif pernah diterapkan di Indonesia untuk menghitung Pajak Penghasilan. Tarif ini diberlakukan sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2000 dan diatur dalam Pasal 17 UU No. 10 tahun 1994. Mulai tahun 2011, jenis tarif ini masih diberlakukan sampai dengan akhir tahun 2008 tetapi hanya untuk Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap, dengan perubahan pada dasr pengenaan pajak sebagai berikut.

No.
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Kenaikan % Pajak
1
2
3
Sampai dengan Rp. 50.000.000
Di atas Rp. 50.000.000 s/d Rp. 100.000.000
Di atas Rp. 100.000.000
10%
15%
30%
-
5%
15%

  1. Tarif Progresif – Degresif
Tarif berupa presentase tertentu yang semakin meningkat dasar pengenaan pajak, tetapi kenaikan presentase tersebut semakin menurun.
Contoh :

No.
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Kenaikan % Pajak
1
2
3
Rp. 50.000.000
Rp. 100.000.000
Rp. 200.000.000
10%
15%
30%
-
5%
15%

  1. Tarif Degresif (Menurun)
Tarif berupa presentase tertentu yang semakin menurun dengan semakin meningkatnya dasar pengenaan pajak.
Contoh :

No.
Dasar pengenaan Pajak
Tarif Pajak
1
2
3
Rp. 50.000.000
Rp. 100.000.000
Rp. 200.000.000
30%
20%
10%
                                     
3.5  TARIF DEGRESIF (MENURUN)
Tarif progresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya makin besar bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga makin besar. Contoh yang seperti diatur dalam pasal 17 UU PPh sebagai berikut :

  1. Wajib Pajak Orang Pribadi
Lapisan Penghasilan Kena Pajak                                                Tarif Pajak
Sampai Rp25.000.000                                                                            5%
Di atas Rp25.000.000 – Rp50.000.000                                                    10%
Di atas Rp50.000.000 – Rp.100.000.000                                                  15%
Di atas Rp100.000.000 – Rp200.000.000                                     20%
Di atas Rp200.000.000                                                                           35%
  1. Wajib Pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Lapisan Penghasilan Kena Pajak                                                Tarif Pajak
≤Rp50.000.000                                                                                      10%
Rp50.000.000 – Rp100.000.000                                                              15%
>Rp100.000.000                                                                                    30%
Dengan tarif progresif maka jumlah pajak yang terutang lebih besar sesuai dengan kenaikan tarif dan besarnya jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak.
Contoh :
Pak Made mempunyai penghasilan sebesar Rp100.000.000, maka besar pajak terutang Pak Made adalah :
5% x Rp25.000.000 = Rp1.250.000
10% x Rp25.000.000 = Rp2.500.000
15% x Rp50.000.000 = Rp7.500.000
Jumlah pajak terutang = Rp11.250.000
Dalam Pasal 17 UU PPh No. 36 Tahun 2008, tarif progresif untuk WP orang pribadi dalam negeri, diatur sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
≤ Rp50.000.000
5%
Rp50.000.000 – Rp250.000.000
15%
Rp250.000.000 – Rp500.000.000
25%
>Rp500.000.000
30%

3.6  TARIF PROPORSIONAL (SEBANDING)
Tarif proporsional adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan persentase tetap tanpa memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Semakin besar jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak, akan semakin besar pula jumlah pajak terutang (yang harus dibayar). Tarif ini ditetapkan dalam UU No. 18 Tahun 2000 (Undang-undang PPN) yang menggunakan tarif proporsional sebesar 10%. UU No. 12 Tahun 1994 (Undang-undang PBB)nmenggunakan tarif proporsional sebesar 0.5%. UU No. 21 Tahun 2000 (Undang-undang BPHTB) menggunakan tarif proporsional sebesar 5%. Karena tarif proporsional ini hanya menggunakan satu tarif yang persentasenya tetap, maka sering disebut juga tarif tunggal.
3.7  TARIF TETAP
Tarif tetap adalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tapa memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Tarif ini diterapkan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM). Dalam Undang-undang Bea Meterai, tarif yang digunakan adalah Bea Meterai dengan nilai nominal sebesar Rp 500 dan Rp 1.000. Nilai nominal dalam perkembangannya selalu beruba-ubah. Berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 1995, tarif Bea Meterai di atas dinaikan menjadi Rp 1.000 dan Rp 2.000 yang selanjutnya dengan PP Nomor 24 Tahun 2000 tarifnya dinaikan lagi menjadi Rp 3.000 dan Rp 6.000.
3.8  TARIF ADVALOREM
Tarif advalorem adalah suatu tarif dengan presentase tertentu yang dikenakan/ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang.

Contoh :
PT ABC mengimpor barng jenis X sebanyak 1.000 unit dengan harga per unit Rp 100.000. Jika tarif Bea Masuk atas Impor Barang tersebut 10%, maka besarnya Bea Masuk yang harus dibayar adalah
Nilai Barang Impor         = 1000 x Rp 100.000
                                    = Rp 100.000.000
Tarif Bea Masuk 10%, maka Bea Masuk yang harus dibayar        = 10% x Rp 100.000.000
                                                                                                = Rp 10.000.000
3.9  TARIF SPESIFIK
Tarif spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas sesuatu jenis barang tertentu atau sesuatu satuan jenis barang tertentu.

Contoh :
PT BCD mengimpor barang jenis X sebanyak 1000 unit dengan harga Rp 100.000. Jika tarif Bea Masuk atas impor barang Rp 100.000 per unit, maka besarnya Bea Masuk yang harus dibayar adalah
Jumlah Barang Impor = Rp 1000/unit
Tarif Rp 100.000, maka Bea Masuk yang harus dibayar   = Rp 100.000 x 1000
                                                                                    = Rp 100.000.000

REFERENSI
Ilyas, Wirawan B dan Richard Burton. 2011. Hukum Pajak, Edisi 5. Jakarta: Salemba Empat
Siti Resmi. 2009. Perpajakan:Teori dan Kasus, Edisi 5. Jakarta: Salemba Empat.

Handoko, Cucun. 2013. Makalah Pajak-Timbul dan Hapusnya Utang Pajak, diakses pada 17 Februari 2015. http://kabarpajak.blogspot.com/2013/07/makalah-pajak-timbul-dan-hapusnya-utang.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar