9.1
Konsep
Mengenai Konflik
9.1.1
Pengertian Konflik
1.
Kondisi
yang dipersepsikan ada di antara pihak-pihak merasakan adanya ketidak sesuaian
tujuan dan peluang untuk mencampuri usaha pencapaian tujuan (AL Banesc, 1981
dalam Nimram 1999)
2.
Suatu
perselisihan atau perjuangan diantara dua pihak yang ditandai dengan
menunjukkan permusuhan secara terbuka dan/atau mengganggu dengan sengaja
pencapaian tujuan pihak yang menjadi lawannya. Gangguan yang dilakukan dapat
meliputi usaha-usaha yang aktif atau penolakan pasif (Schmidt dan Kochan, 1972
dalam Umar,2001).
3.
Robbins
(1996) dalam "Organization Behavior" menjelaskan bahwa konflik adalah
suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua
pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik
pengaruh positif maupun pengaruh negatif.
4.
Sedang
menurut Luthans (1981) konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya
kekuatan yang saling bertentengan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada
keinginan manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah
yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Konflik dapat
diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, pertikaian, pertentangan,
benturan, atau clash antar manusia. Konflik bisa timbul bila
ada perbedaan pendapat, pandangan, nilai, cita- cita, keinginan, kebutuhan,
perasaan, kepentingan, kelakuan, atau kebiasaan. Perbedaan seperti itu bisa
dialami di berbagai bidang kehidupan, seperti kebudayaan, agama, politik,
ekonomi-sosial, ilmu pengetahuan dan pendidikan, dunia bisnis, pemerintahan,
bahkan juga dalam bidang rekreasi dan gaya hidup.
Konflik menjadi tidak sehat jika dihindari atau ditangani
dengan dasar menang atau kalah (hanya satu pihak yang menang). Akibatnya
terjadi permusuhan. Kecenderungan membela pihak tertentu timbul, maka akibatnya
produktivitas sedikit demi sedikit berkurang akhirnya lenyap sama sekali.
Situasi ini biasanya sulit atau bahkan tidak mungkin diperbaiki.
Konflik menjadi sehat ketika pihak-pihak yang terlibat
menjajaki ide-ide baru, menguji posisi dan keyakinan mereka serta konstruktif,
orang-orang yang di rangsang untuk lebih kreatif, sehingga menuju ke arah
pilihan tindakan yang lebih luas dan hasil yang lebih baik.
9.1.2
Cara Pandang Terhadap Konflik
Pada
hakekatnya terdapat dua pandangan utama mengenai konflik, yaitu :
1. Pandangan tradisional (The
Traditional View)
Pandangan ini menyatakan bahwa semua
konflik berbahaya oleh karena aitu konflik harus dihindari dengan cara apapun.
Setiap konflik akan mengganggu kerjasama untuk mencapai tujuan organisasi.
Karena itu konfllik selalu mengandung pengertian negative. Untuk
memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence,
destruction, dan irrationality. Pandangan ini konsisten
dengan sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok dalam dasawarsa
1930-an dan 1940-an. Konflik dilihat sebagai suatu hasil disfungsional akibat
komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan dan keterbukaan di antara orang-orang,
dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan. Tanggung jawab manajemen adalah
mencegah timbulnya konflik.
2. Pandangan hubungan kemanusiaan (The
Human Relations View)
Pandangan ini menyatakan bahwa
konfik merupakan sesuatu yang alami dan merupakan hal yang tidak dapat
dikesampingkan dalam kelompok, karenanya konflik tidak dapat dihindari dan
berpotensi positif dalam menentukan kinerja kelompok. Pandangan
ini mendominasi teori konflik dari akhir dasawarsa 1940-an sampai pertengahan
1970-an.
3. Pandangan interaksional (The
Interactionist View)
Pandangan ini menyatakan bahwa
konflik tidak hanya dapat menjadi kekuatan yang positif bahkan mutlak
diperlukan. Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya
konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai,
dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak
inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu
dipertahankan pada tingkat minimun secara berkelanjutan, sehingga
kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical),
dan kreatif. Contohnya,
konflik dapat memberikan dorongan terjadinya perubahan dan pengambilan
keputusan yang lebih baik. Tanpa konflik, suatu organisasi akan statis dan
tidak tanggap. Namun , agar konflik dapat fungsional maka harus terkendali.
Teori pandangan konflik menurut T.
Hani Handoko :
a. Pandangan Lama :
1. Konflik
dapat dihindarkan
2. Konflik
disebabkan oleh kesalahan – kesalahan manajemen dalam perancangan dan
pengelolaan organisasi atau oleh pengacau.
3. Konflik
mengggangu organisasi dan menghalangi pelaksanaan optimal.
4.
Tugas manajemen adalah menghilangkan konflik.
5. Pelaksanaan
kegiatan organisasi yang optimal membutuhkan penghapusan konflik.
9.1.4 Sumber Konflik
Faktor-Faktor Penyebab Konflik
Secara Umum :
1. Perbedaan Individu
Merupakan perbedaan yang menyangkut
perasaan, pendirian, opini atau pendapat serta ide yang berkaitan dengan harga
diri, kebanggaan dan identitas seseorang. Perbedaan kebiasaan dan perasaan ynag
dapat menimbulkan kebencian dan amarah sebagai awal timbulnya konflik.
Misalnya, ketika berlangsungnya pentas music di lingkungan permukiman, tentu
tanggapan dari warganya berbeda. Pasti saja ada beberapa warga yang merasa
terganggu akan keberlangsungan pentas music tersebut namun sebagian dari warga
tersebut pasti menikmati acara yang diselenggarakan di permukiman tersebut
karena merasa terhibur.
2. Perbedaan Latar Belakang Kebudayaan
Kepribadian seseorang dibentuk dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat. Tidak semua masyarakat memiliki nilai-nilai
dan norma-norma sosial yang sama. Apa yang dianggap masyarakat disuatu daerah
baik akan dianggap baik pula oleh masyarakat yang berada di wilayah yang
berbeda. Misalnya orang Jawa dengan orang Papua yang memiliki kebudayaan yang
berbeda, jelas akan membedakan pola pikir dan kepribadian yang berbeda pula.
Jika hal ini seperti ini tidak ada yang mempersatukan akan menyebabkan
timbulnya konflik.
3.
Perbedaan
Kepentingan
Setiap
individu atau kelompok seringkali memiliki kepentingan yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya baik individu ataupun kelompok yang dipengaruhi oleh
kebutuan masing-masing. Perbedaan kepentingan ini menyangkut kepentingan
ekonomi, politik, sosial dan budaya. Misalnya seorang pengusaha menghendaki
adanya penghematan dalam biaya suatu produksi sehingga terpaksa harus melakukan
rasionalisasi pegawai. Namun, para pegawai yang terkena rasionalisasi merasa
hak-haknya diabaikan sehingga perbedaan kepentingan tersebut menimbulkan suatu
konflik.
4.
Perubahan
Sosial
Perubahan sosial dalam sebuah
masyarakat yang terjadi terlalu cepat dapat mengganggu keseimbangan sistem
nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Konflik dapat terjadi
karena adanya ketidaksesuaian antara harapan individu atau masyarakat dengan
kenyataan sosial yang timbul akibat perubahan itu. Misalnya, pada masyarakat
pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan
konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya
bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat
industri. Seperti pada budaya gotong royong berganti menjadi nilai kontrak
kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaanya. Hubungan
kekerabatan bergeser menjadi hubungan structural yang disusun dalam organisasi
formal perusahaan.Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan
nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah
menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam
dunia industri, Perubahan-perubahan ini jika terjadi secara cepat atau mendadak
akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan
terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap
mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.
9.1.5 Konflik Fungsional dan
Disfungsional
1. Konflik fungsional (konstruktif) adalah konflik
yang mendukung tujuan kelompok dan memperbaiki kinerja kelompok.
Fungsionalisasi konflik ini dapat dibedah dari beberapa aspek berikut :
a.
Konflik “menjernihkan udara atau
melapangkan dada” karena melalui konflik, orang-orang membuka pintu untuk
menegeluarkan uneg-uneg yang selama ini mengganjal
b.
Ketika suatu system steril dari
ketegangan, maka system tersebut akan statis dan orang mungkin sekali akan
cepat dilanda kebosanan
c.
Konflik pada tingkat yang optimal
menjadi esensial bagi inovasi karena mampu mendorong serta memelihara interaksi
antar pribadi sertabtempat kerja dalam suasana sehat dan kreatif.
d.
Konflik antar kelompok, konflik antar
kelompok, konflik antar dua kelompok atau lebih mendorong kohesi intra kelompok
apabila ada satu “musuh” bersama oleh anggota kelompok.
e.
Banyak peraturan, tat tertib, prosedur
dan perubahan-perubahan dari dimensi lain baik strukturisasi maupun proses
dibuat sebagai akibat timbulnya situasi konflik.
f.
Konflik dapat juga berlaku sebagai alat
keseimbangan kekuasaan. Hal ini tampak jelas dalam negosiasi antara manajemen
dengan serikat pekerja.
2. Konflik Disfungsional (desfruktif) merupakan
konflik yang merintangi kinerja kelompok. Konflik ini berkaitan dengan adanya
pertentangan antara kelompok yang kemudian merusak dan bahkan menggagalkan
tercapainya tujuan organisasi.
Menurut
Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional
sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu
kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik
dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang
lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau
disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan
pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja
kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut
dikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya
memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik
tersebut disfungsional .
Dalam batas-batas
tertentu konflik dapat diatasai dan bahkan dapat mendorong efektivitas
individu, kelompok, maupun organisasi, tetapi bila berkembang secara berlebihan
dan tanpa kendali cenderung akan berakibat destruktif dan tanpa kendali
cenderung akan berakibat destruktif dan dapat menyeret organisasi pada kinerja
yang buruk.
9.1.6
Hubungan Konflik dengan Prestasi Kerja
Banyak yang beropini
bahwa konflik secara otomatis berkorelasi negative dengan prestasi kerja, baik
kelompok maupun organisasi, artinya ketika suatu kelompok atau organisasi
dilanda konflik serta merta membuahkan kinerja yang rendah. Sejatinya pendapat
itu benar, karena konflik yang dikelola dengan tepat justru dapat mendorong
naiknya prestasi kerja baik kelompok maupun organisasi.
Konflik dapat bersifat konstruktif atau destruktif
bagi kelompok/subunit dan organisasi. Ketika tingkat konflik yang terjadi
terlalu rendah, maka prestasi rendah karena kurangnya dorongan dan rangsangan.
Orang merasakan lingkungannya terlalu menyenangkan dan nyaman, dan responnya
apatis dan terjadi adanya stagnasi. Jika mereka tidak dihadapkan pada tantangan
mereka tidak akan mencari cara-cara danide-ide baru, dan organisasi lambat
beradaptasi dengan perubahan dari faktorlingkungan ekstern. Di sisi lain ketika
tinggat kònflik yang terjadi sangat tinggi, prestasi rendah karena kurangnya
koordinasi dan kerjasama. Organisasi dalam keadaan kacau balau, di mana
masing-masing orang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mempertahankan /
membela dirinya dan menyerang kelompok lain daripada melakukan tugas-tugas yang
produktif.
Kondisi
|
Tingkat konflik
|
Karakteristik perilaku
|
Sifat Konflik
|
Tingkat Prestasi
|
A
|
Rendah/ dekat
|
Apatis, Stagnasi, Tidak resfonsif,
|
Disfungsional
|
rendah
|
|
|
Kurangnya ide-ide
|
|
|
B
|
Optimal
|
Bersemangat inovatif, Dorongan
|
Fungsional
|
tinggi
|
|
|
untuk berubah mencari solusi
|
|
|
C
|
Tinggi
|
Kacau, Tak ada kerjasama,
|
Disfungsional
|
rendah
|
|
|
tak ada koordinasi
|
|
|
9.1.7 Jenis-Jenis Konflik
1.
Dalam diri sendiri, seseorang bisa
mengalami konflik internal karena suatu hal.
2.
Antar individu, sering karena perbedaan
tentang isu, tindakan ataupun tujuan
3.
Antar anggota kelompok
a. Subtantif
(karena keahlian beda)
b. Efektif
(respon emosional atas situasi tertentu)
4.
Antar kelompok
5.
Intra Organisasi
a. Vertikal,
misalnya antara manajer dengan bawahannya
b. Horizontal,
misalnya dapat terjadi antara pegawai atau unit yang mempunyai garis hirarki
yang sama dalam organisasi
c. Lini-
staf, bisa terjadi antara staf ahli misalnya dengan pejabat atau pegawai dalam suatu lini
d. Konflik
peran, dapat terjadi karena seseorang dalam suatu organisasi mempunyai lebih dari
satu peran yang kontradiktif. Misalnya seorang manajer yang merangkap sebagai
ketua serikat pekerja, konflik muncul saat pegawai menuntut kenaikan upah
sementara kebijakan organisasi belum saatnya menaikkan upah.
6.
Antar organisasi, konflik yang terjadi
antar organisasi yang dipicu oleh adanya saling ketergantungan satu sama lain.
Misalnya organisasi dengan pemasok, pelangggan ataupun dengan distributor.
9.1.8
Tahapan Konflik / Proses Konflik dalam Organisasi
Menurut
Pondy yang dikutip oleh Indriyo Gitosudarmo dan Sudita mengembangkan sebuah
model tentang proses konflik yang disebutnya “Conflict Episode”
Ada
lima tahap sejak suatu konflik itu berawal yang akan dilaluinya sebagai suatu
proses. Lima tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Latent Conflict (konflik dibawah tanah),
tahap dimana muncul faktor – faktor dalam situasi yang dapat menjadi kekuatan
potensial guna mendorong konflik.
2.
Perceived Conflict (konflik
dipersepsikan), tahap pada waktu dimana satu pihak memandang pihak lain seperti
akan menghambat atau mengancam sasarannya.
3.
Felt Conflict (konflik dirasakan), tahap
dimana konflik tersebut tidak hanya dipandang atau dianggap ada, namun benar –
benar dirasakan dan dikenali keberadaannya.
4.
Manifest Conflict (konflik
dimanifestasikan), tahap dimana kedua belah pihak berperilaku yang mengundang
respon dari pihak lainnya.
5.
Conflict Aftermath (ekor konflik), tahap
sesudah konflik diatasi, tetapi masih terdapat sisa – sisa ketegangan yang
tertinggal pada pihak – pihak yang bersangkutan, yang nantinya di samping hal –
hal lain dapat menjadi dasar bagi “latent conflict” pada episode berikutnya.
9.1.9
Dampak Konflik Terhadap Perilaku Kelompok
Konflik seakan sudah menjadi
streotif yang negative di pandangan masyarakat pada umumnya. Namun dalam kenyataannya
konflik tidak selalu berdampak negative. Jika suatu konflik dapat teratasi
dengan cara yang tepat dan efisien, itu akan memberikan dampak yang positif
pula terhadap perilaku kelompok.
1.
Perubahan
perilaku yang terjadi didalam kelompok itu sendiri, seperti:
a. Meningkatnya
kohevitas/ keterpaduan. Hal ini terlihat dari cara
pembagian tugas dan tanggung jawab.
b. Meningkatnya
loyalitas. Dalam menggunakan waktu bekerja, seperti hampir
tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan yang jelas, masuk dan pulang
kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam kerja setiap karyawan menggunakan
waktu secara efektif, hasil kerja meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
c. Meningkatnya
gaya kepemimpinan otokratis. Dikarenakan konflik sering membuat orang didalam
kelompok enggan untuk saling bertukar pendapat dalam mengambil keputusan
sehingga tiap orang didalam kelompok bekerja sendiri-sendiri.
d. Orientasi
kepada aktivitas
e. Penilaian
yang berlebihan. Penilaian yang berlebihan ini cenderung terjadi antar kelompok
yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kelompoknya dirasa kurang adil
sehingga munculah penilaian antar sesama yang kadang dilebih-lebihkan.
f. Semakin
berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat stress bahkan
produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan memperoleh
perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam keberhasilan
kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan karier dan potensi dirinya secara
optimal.
2.
Perubahan yang terjadi diantara
kelompok:
a. Menurunnya
komunikasi
b. Penyimpangan
persepsi
c. Meningkatnya
motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar pribadi maupun
antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya peningkatan
prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran, inisiatif dan
kreativitas.
d. Sulit
untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman,
merasa tertolak oleh teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil
pekerjaannya, timbul stres yang berkepanjangan.
9.1.10
Mengelola Konflik Antar Kelompok
Menurut pendapat Indriyo Gitosudarmo dan
Sudita (1997) ada empat strategi untuk mengurangi timbulnya konflik dalam suatu
organisasi, yaitu:
1) Strategi
pengindaran (tidak mempertimbangkan sumber konflik). Dilakukan dengan cara:
·
Mengabaikan konflik
·
Pemisahan secara fisik
2) Strategi
intervensi kekuasaan (digunakan ketika kelompok yang bertikai tidak mampu
menyelesaikannya sendiri). Dilakukan dengan cara:
·
Menggunakan perintah otoratif dan
penerapan peraturan
·
Manuver politik. Kelompok yang mempunyai
konflik masing-masing menghimpun kekuatan untuk memaksa kelompok yang lain
3) Strategi
pengembosan (hanya bertujuan untuk mengurangi tensi konflik, tidak sampai
menyentuh akar persoalan). Dilakukan dengan cara:
·
Pelunakan. Dengan cara menonjolkan
kesamaan/ kepentingan bersam
·
Kompromi. Tawar menawar secara
fleksibel.
·
Mengidentifikasi musuh bersama
4) Strategi
Resolusi (mengidentifikasi dan memecahkan sumber yang menjadi penyebab
timbulnya konflik). Dilakukan dengan cara:
·
Interaksi antar kelompok. melalui
pertemuan langsung antar pimpinan kelompok yang konflik.
·
Tujuan yang lebih tinggi. Ini dapat
menjadi motivasi tinggi masing-masing pihak dalam menyelesaikan masalah.
·
Penyelesaian masalah secara bersama. Ini
membutuhkan waktu dan komitmen.
·
Mengubah struktur organisasi bila
persoalannya didasari pada struktur.
9.1.11
Menciptakan Konflik Fungsional
Mengingat konflik yang
dimensinya tidak berkelebikan dan dapat dikelola dengan tepat akan dapat
menjadi konflik fungsional, konflik tipe ini justru dapat mengerek knerja ke
arah yang lebih baik. Mendesain konflik jenis ini dapat dilakukan melalui:
1.
Menciptakan persaingan, dapat dibuat
melalui tawaran imbalan yang lebih tinggi kepada yang kinerjanya lebih bagus
baik individu maupun kelompok. Intensif
financial maupun imbalan ekstrinsik yang lain akan dapat menciptakan
persaingan yang lebih ketat.
2.
Mengubah struktur organisasi, disini
struktur organisasi dapat dipakai sebagai alat untuk mendorong terciptanya
situasi yang lebih kondusif.
3.
Mendatangkan ahhli dari luar,
mendatangkan dari kalangan eksternal misalnya dalam mengisi jabatan tertentu
dapat menawarkan suasana baru, ide-ide yang mengarah kepada situasi konflik
yang berdimensi fungsional.
9.2
Konsep
Mengenai Perundingan
9.2.1
Perundingan
(Negosiasi)
Perundingan atau
negosiasi adalah kegiatan yang sering mewarnai organisasi yang bisa melibatkan
orang perorang ataupun kelompok, seperti tawar menawar kerja dengan pihak
manajemen, perundingan manajer dengan anak buah, atau dengan kolega atau bisa
juga dengan atasan yang lebih tingi, bisa juga dengan pelanggan, ataupun dengan
pihak pemasok atau dengan pihak-pihak lain. Dalam perkembangan lingkungan yang
begitu cepat dan kompleks keterampilan berunding atau bernegosiasi menjadi
cukup penting.
Sementara Herb Cohen
yang dimuat dalam buku Kewirausahaan Indonesia dengan semangat 17-8-45 (1995)
mengatakan bahwa perundingan atau negosiasi tersebut adalah suatu kegiatan yang
memanfaatkan informasi dan kekuatan yang dimiliki seseorang guna mempengaruhi
sikap dan perilaku pihak lain dalam situasi tertentu. Sedangkan pakar lain Bill
Scoot dalam buku yang sama menyatakan perudingan atau negosiasi adalah suatu
bentuk pertemuan antara dua pihak, yaitu kita dan pihak lain. Sasaranya adalah
suatu persetujuan.
Startegi tawar menawar
ada dua, yaitu:
1. Tawar
menawar distributive, perundingan
berusaha untuk membagi sejumlah tetap sumber daya.
Situasi Kalah Menang
2. Tawar
menawat intregrative, perundingan
yang mengusahakan satu penyelesaian atau lebih yang dapat menciptakan suatu
pemecahan.
Proses perundingan:
1) Persuiapan
dan perencanaan
2) Difinisi
aturan dasar
3) Penjelasan
dan pembenaran
4) Tawar-menawar
dan pemecahan masalah
5) Penutupan
dan pelaksanaan
Masalah
dalam perundingan:
1) Peran
ciri kepribadian
2) Perbedaan
jenis kelamin
3) Perbedayaan
budaya
9.3
Hubungan
Antar Kelompok dalam Organisasi
Mengenal, mengerti dan
memahami hubungan orang dalam kelompok dan hubungan antar kelompok sangat
penting dan besar sekali artinya dalam kepemimpinan sebab pemimpin akan dapat
mengambil keputusan secara bijak, rasional dan adil. Mengabaikan kepentingan kelompok
akan berakibat fatal bagi masa depan organisasi. Hubungan antar kelompok harus
dibina sedemikian rupa sehingga dapat dijalin secara harmonis. Harmonisnya
hubungan antar kelompok akan dapat menciptakan kinerja kelompok dan kinerja
organisasi secara optimal. Dalam hubungan antar kelompok dibutuhkan sebuah
koordinasi. Koordinasi adalah suatu proses di mana pimpinan mengembangkan pola
usaha kelompok secara teratur di antara bawahannya dan menjamin kesatuan
tindakan di dalam mencapai tujuan bersama. Koordinasi merupakan
faktor yang sangat memengaruhi kinerja antar kelompok.
Faktor
yang Memperngaruhi Hubungan Antar Kelompok
Kinerja kelompok yang berhasil merupakan
fungsi dari sejumlah faktor yang berpengaruh. Konsep yang memayungi berbagai
faktor ini adalah konsep koordinasi. Umumnya berpengaruh terhadap hubungan
antar kelompok.
1. Adanya saling Ketergantungan
Terdapat 3 (tiga) macam
saling ketergantungan di antara satuan-satuan organisasi seperti diungkapkan
oleh James D. Thompson (Handoko, 2003:196), yaitu:
1. Saling
ketergantungan yang menyatu (pooled interdependence), bila satuan-satuan
organisasi tidak saling tergantung satu dengan yang lain dalam melaksanakan
kegiatan harian tetapi tergantung pada pelaksanaan kerja setiap satuan yang
memuaskan untuk suatu hasil akhir.
2. Saling
ketergantungan yang berurutan (sequential interdependece), di mana suatu satuan
organisasi harus melakukan pekerjaannya terlebih dulu sebelum satuan yang lain
dapat bekerja.
3. Saling
ketergantungan timbal balik (reciprocal interdependence), merupakan hubungan
memberi dan menerima antar satuan organisasi.
2. Ketidakpastian Tugas antar Kelompok
Kunci utama
ketidakpastian tugas adalah bahwa suatu tugas untuk diterapkan memerlukan
informasi lebih banyak. Oleh karena itu jika suatu tugas mempunyai
ketidakpastian yang tinggi maka ketergantungan kepada informasi yang lengkap
jelas dan valid sangat dibutuhkan dan masing-masing kelompok akan sama saling
membutuhkan satu sama lain atau menghadapi resiko kegagalan yang semakin besar.
3. Orientasi Waktu dan Tujuan
Dua kelompok atau lebih
akan saling bergantung satu sama lain sangat ditentukan oleh waktu dan tujuan
spesifik yang melekat pada dirinya. Jika tujuan spesifik saling terkait satu
sama lain dan waktu yang disediakan saling berkaitan antara yang satu dengan
yang lain, maka derajat ketergantungan kelompok akan semakin besar.
Metode
yang Mengelola Hubungan Antar Kelompok
1.
Menetapkan Aturan dan Prosedur
Metode yang paling
murah dan paling sederhana di dalam mengelola hubungan antar kelompok adalah
menetapkan aturan dan prosesdur interaksi antar kelompok. Di dalam organisasi
yang besar, akan dibentuk suatu departemen yang khusus memantau dan
mengevaluasi hubungan antar kelompok dan jika interaksi hubungan antar kelompok
tersebut ada gejala yang tidak sesuai dengan harapan, maka kelompok yang
terkait akan dipanggil untuk menyelesaikan gejala tersebut.
2.
Penggunan Hirarki Organisasi
Jika metode diatas
dipandang kurang tepat, maka hierarki kekuasaan yang ada di dalam organisasi
menjadi alternatif kedua di dalam mengelola hubungan antar kelompok. Dengan
demikian maka koordinasi akan diambil alih oleh pejabat yang lebih tinggi yang
berada didalam organisasi itu. Pejabat yang lebih tinggi umumnya dapat
dipandang sebagai pejabat yang efektif untuk membina hubungan antar kelompok. Sebab
pejabat yang tinggi ini secara posisional mempunyai kekuasaan yang lebih
besar dan diharapkan dapat mempengaruhi hubungan antar kelompok.
3.
Penggunaan Perencanaan untuk Mempermudah
Koordinasi
Alternatif berikutnya
di dalam mengelola hubungan antar kelompok adalah melalui perencanaan. Jika
setiap kelompok mempunyai tujuan spesifik yang hendak dicapai maka setiap
kelompok telah mengetahui hak dan kewajiban yang melekat pada kelompoknya dan
setiap kelompok ini akan mengetahui pada saat yang bagaimana hubungan kelompok
lain perlu dilakukan. Perencanaan yang memadai dan baik cenderung memperbaiki
koordinasi dan di samping itu perencanaan cenderung dapat pula alat koordinasi
yang efektif dan efisien.
4.
Peran Perantara
Peran perantara sering
mengarah kepada individu yang diberi tugas (pekerjaan) khusus untuk memudahkan
komunikasi antar kelompok kerja yang saling terkait. Perantara yang diberi
tugas khusus ini tentunya adalah orang yang dipandang cakap dan mempunyai
pandangan yang luas tentang bidang organisasi dan manajemen. Di dalam
organisasi yang besar sering kali memanfaatkan sarjana yang mempunyai
kompetensi dibidangnya dengan beberapa pengalaman praktis dan taktis yang
menunjang kompetensinya. Kelemahan utama peran perantara ini adalah adanya
keterbatasan pribadi untuk menangani informasi yang mengalir diantara kelompok
yang saling berinteraksi, khususnya jika kelompok berinteraksi itu besar dan
interaski sangat sering dilakukan.
5.
Pelaksana Tugas
Para pelaksana tugas dapat
dijadikan wakil dari sejumlah kelompok. Para pelaksana tugas sering
melaksanakan tugas yang sesuai dengan bidangnya dan sering kali melakukan
hubungan dengan yang lain. Para pelaksana tugas ini harus dibina sedemikian
rupa guna memberi pengertian dan pemahaman mengenai hubungan antar kelompok
tentang apa yang seharusnya dilakukan di dalam membina hubungan dengan kelompok
lain.
6.
Penggunaan Tim
Jika tugas sudah
semakin banyak dan rumit maka persoalan yang muncul dari pelaksanaan tugas akan
semakin banyak dan rumit pula dan dalam keadaan demikian maka alat koordinasi
yang ada sudah dianggap kurang memadai dan tidak tepat. Pilihan berikutnya
adalah menyerahkan kerumitan hubungan antar kelompok ini kepada suatu tim. Tim
inilah yang akan memantau dan mengevaluasi pola hubungan antar kelompok. Anggota
tim berasal dari masing-masing fungsi yang ada di dalam organisasi dan ketika
tugasnya telah selesai maka anggota tim ini akan kembali lagi kepada induknya.
Tim pemantau ini dikarenakan mempunyai keanggotaan yang berkomposisi masing-masing
fungsi maka dipandang mewakili masing-masing fungsinya sehingga hasil pantauan
dan evaluasinya dipandang cukup representatif.
7.
Pembentukan Departemen Pemandu
Jika hubungan antar
kelompok telah menjadi terlalu sulit dan rumit untuk dikoordinasikan melalui
rencana, tugas, tim dan sebagainya, maka organisasi sebaiknya membentuk
departemen pemandu. Departemen ini bersifat permanen dengan anggota yang secara
formal diberi tugas untuk memadukan dua kelompok atau lebih. Departemen yang
dibentuk ini akan digunakan jika organisasi sudah sangat besar dan mempunyai
tujuan-tujuan yang sering berlainan arah, mempunyai berbagai persoalan yang tak
rutin yang sangat rumit dan mempunyai keputusan antar kelompok yang mempunyai
dampak terhadap seluruh operasi organisasi. Departemen ini dapat
dijadikan alat yang dapat diandalkan untuk menangani konflik antar kelompok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar