Rabu, 15 April 2015

Konflik


9.1    Konsep Mengenai Konflik
9.1.1    Pengertian Konflik
1.      Kondisi yang dipersepsikan ada di antara pihak-pihak merasakan adanya ketidak sesuaian tujuan dan peluang untuk mencampuri usaha pencapaian tujuan (AL Banesc, 1981 dalam Nimram 1999)
2.      Suatu perselisihan atau perjuangan diantara dua pihak yang ditandai dengan menunjukkan permusuhan secara terbuka dan/atau mengganggu dengan sengaja pencapaian tujuan pihak yang menjadi lawannya. Gangguan yang dilakukan dapat meliputi usaha-usaha yang aktif atau penolakan pasif (Schmidt dan Kochan, 1972 dalam Umar,2001).
3.      Robbins (1996) dalam "Organization Behavior" menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.
4.      Sedang menurut Luthans (1981) konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentengan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan. 
Jadi dapat disimpulkan bahwa Konflik dapat diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, pertikaian, pertentangan, benturan, atau clash antar manusia. Konflik bisa timbul bila ada perbedaan pendapat, pandangan, nilai, cita- cita, keinginan, kebutuhan, perasaan, kepentingan, kelakuan, atau kebiasaan. Perbedaan seperti itu bisa dialami di berbagai bidang kehidupan, seperti kebudayaan, agama, politik, ekonomi-sosial, ilmu pengetahuan dan pendidikan, dunia bisnis, pemerintahan, bahkan juga dalam bidang rekreasi dan gaya hidup.
Konflik menjadi tidak sehat jika dihindari atau ditangani dengan dasar menang atau kalah (hanya satu pihak yang menang). Akibatnya terjadi permusuhan. Kecenderungan membela pihak tertentu timbul, maka akibatnya produktivitas sedikit demi sedikit berkurang akhirnya lenyap sama sekali. Situasi ini biasanya sulit atau bahkan tidak mungkin diperbaiki. 
Konflik menjadi sehat ketika pihak-pihak yang terlibat menjajaki ide-ide baru, menguji posisi dan keyakinan mereka serta konstruktif, orang-orang yang di rangsang untuk lebih kreatif, sehingga menuju ke arah pilihan tindakan yang lebih luas dan hasil yang lebih baik.
9.1.2        Cara Pandang Terhadap Konflik
Pada hakekatnya terdapat dua pandangan utama mengenai konflik, yaitu  :
1.      Pandangan tradisional (The Traditional View)
Pandangan ini menyatakan bahwa semua konflik berbahaya oleh karena aitu konflik harus dihindari dengan cara apapun. Setiap konflik akan mengganggu kerjasama untuk mencapai tujuan organisasi. Karena itu konfllik selalu mengandung pengertian negative. Untuk memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Pandangan ini konsisten dengan sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok dalam dasawarsa 1930-an dan 1940-an. Konflik dilihat sebagai suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan dan keterbukaan di antara orang-orang, dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan. Tanggung jawab manajemen adalah mencegah timbulnya konflik.

2.      Pandangan hubungan kemanusiaan (The Human Relations View)
Pandangan ini menyatakan bahwa konfik merupakan sesuatu yang alami dan merupakan hal yang tidak dapat dikesampingkan dalam kelompok, karenanya konflik tidak dapat dihindari dan berpotensi positif dalam menentukan kinerja kelompok. Pandangan ini mendominasi teori konflik dari akhir dasawarsa 1940-an sampai pertengahan 1970-an.

3.      Pandangan interaksional (The Interactionist View)
Pandangan ini menyatakan bahwa konflik tidak hanya dapat menjadi kekuatan yang positif bahkan mutlak diperlukan. Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat  minimun secara berkelanjutan, sehingga kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical), dan kreatif. Contohnya, konflik dapat memberikan dorongan terjadinya perubahan dan pengambilan keputusan yang lebih baik. Tanpa konflik, suatu organisasi akan statis dan tidak tanggap. Namun , agar konflik dapat fungsional maka harus terkendali.

Teori pandangan konflik menurut T. Hani Handoko :
a. Pandangan Lama :
1. Konflik dapat dihindarkan
2. Konflik disebabkan oleh kesalahan – kesalahan manajemen dalam perancangan dan 
    pengelolaan organisasi atau oleh pengacau.
3. Konflik mengggangu organisasi dan menghalangi pelaksanaan optimal.
4.  Tugas manajemen adalah menghilangkan konflik.
5.  Pelaksanaan kegiatan organisasi yang optimal membutuhkan penghapusan konflik.

9.1.4 Sumber Konflik
Faktor-Faktor Penyebab Konflik Secara Umum :
1.      Perbedaan Individu
Merupakan perbedaan yang menyangkut perasaan, pendirian, opini atau pendapat serta ide yang berkaitan dengan harga diri, kebanggaan dan identitas seseorang. Perbedaan kebiasaan dan perasaan ynag dapat menimbulkan kebencian dan amarah sebagai awal timbulnya konflik. Misalnya, ketika berlangsungnya pentas music di lingkungan permukiman, tentu tanggapan dari warganya berbeda. Pasti saja ada beberapa warga yang merasa terganggu akan keberlangsungan pentas music tersebut namun sebagian dari warga tersebut pasti menikmati acara yang diselenggarakan di permukiman tersebut karena merasa terhibur.
2.      Perbedaan Latar Belakang Kebudayaan
Kepribadian seseorang dibentuk dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Tidak semua masyarakat memiliki nilai-nilai dan norma-norma sosial yang sama. Apa yang dianggap masyarakat disuatu daerah baik akan dianggap baik pula oleh masyarakat yang berada di wilayah yang berbeda. Misalnya orang Jawa dengan orang Papua yang memiliki kebudayaan yang berbeda, jelas akan membedakan pola pikir dan kepribadian yang berbeda pula. Jika hal ini seperti ini tidak ada yang mempersatukan akan menyebabkan timbulnya konflik.
3.      Perbedaan Kepentingan
Setiap individu atau kelompok seringkali memiliki kepentingan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya baik individu ataupun kelompok yang dipengaruhi oleh kebutuan masing-masing. Perbedaan kepentingan ini menyangkut kepentingan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Misalnya seorang pengusaha menghendaki adanya penghematan dalam biaya suatu produksi sehingga terpaksa harus melakukan rasionalisasi pegawai. Namun, para pegawai yang terkena rasionalisasi merasa hak-haknya diabaikan sehingga perbedaan kepentingan tersebut menimbulkan suatu konflik.
4.      Perubahan Sosial
Perubahan sosial dalam sebuah masyarakat yang terjadi terlalu cepat dapat mengganggu keseimbangan sistem nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Konflik dapat terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara harapan individu atau masyarakat dengan kenyataan sosial yang timbul akibat perubahan itu. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Seperti pada budaya gotong royong berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaanya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan structural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan.Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri, Perubahan-perubahan ini jika terjadi secara cepat atau mendadak akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.

9.1.5 Konflik Fungsional dan Disfungsional
1. Konflik fungsional (konstruktif) adalah konflik yang mendukung tujuan kelompok dan memperbaiki kinerja kelompok. Fungsionalisasi konflik ini dapat dibedah dari beberapa aspek berikut :
a.       Konflik “menjernihkan udara atau melapangkan dada” karena melalui konflik, orang-orang membuka pintu untuk menegeluarkan uneg-uneg yang selama ini mengganjal
b.      Ketika suatu system steril dari ketegangan, maka system tersebut akan statis dan orang mungkin sekali akan cepat dilanda kebosanan
c.       Konflik pada tingkat yang optimal menjadi esensial bagi inovasi karena mampu mendorong serta memelihara interaksi antar pribadi sertabtempat kerja dalam suasana sehat dan kreatif.
d.      Konflik antar kelompok, konflik antar kelompok, konflik antar dua kelompok atau lebih mendorong kohesi intra kelompok apabila ada satu “musuh” bersama oleh anggota kelompok.
e.       Banyak peraturan, tat tertib, prosedur dan perubahan-perubahan dari dimensi lain baik strukturisasi maupun proses dibuat sebagai akibat timbulnya situasi konflik.
f.       Konflik dapat juga berlaku sebagai alat keseimbangan kekuasaan. Hal ini tampak jelas dalam negosiasi antara manajemen dengan serikat pekerja.
2. Konflik Disfungsional (desfruktif) merupakan konflik yang merintangi kinerja kelompok. Konflik ini berkaitan dengan adanya pertentangan antara kelompok yang kemudian merusak dan bahkan menggagalkan tercapainya tujuan organisasi.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut dikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut disfungsional .
Dalam batas-batas tertentu konflik dapat diatasai dan bahkan dapat mendorong efektivitas individu, kelompok, maupun organisasi, tetapi bila berkembang secara berlebihan dan tanpa kendali cenderung akan berakibat destruktif dan tanpa kendali cenderung akan berakibat destruktif dan dapat menyeret organisasi pada kinerja yang buruk.
9.1.6 Hubungan Konflik dengan Prestasi Kerja
Banyak yang beropini bahwa konflik secara otomatis berkorelasi negative dengan prestasi kerja, baik kelompok maupun organisasi, artinya ketika suatu kelompok atau organisasi dilanda konflik serta merta membuahkan kinerja yang rendah. Sejatinya pendapat itu benar, karena konflik yang dikelola dengan tepat justru dapat mendorong naiknya prestasi kerja baik kelompok maupun organisasi.
Konflik dapat bersifat konstruktif atau destruktif bagi kelompok/subunit dan organisasi. Ketika tingkat konflik yang terjadi terlalu rendah, maka prestasi rendah karena kurangnya dorongan dan rangsangan. Orang merasakan lingkungannya terlalu menyenangkan dan nyaman, dan responnya apatis dan terjadi adanya stagnasi. Jika mereka tidak dihadapkan pada tantangan mereka tidak akan mencari cara-cara danide-ide baru, dan organisasi lambat beradaptasi dengan perubahan dari faktorlingkungan ekstern. Di sisi lain ketika tinggat kònflik yang terjadi sangat tinggi, prestasi rendah karena kurangnya koordinasi dan kerjasama. Organisasi dalam keadaan kacau balau, di mana masing-masing orang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mempertahankan / membela dirinya dan menyerang kelompok lain daripada melakukan tugas-tugas yang produktif.

           
Kondisi
Tingkat konflik
Karakteristik perilaku
Sifat Konflik
Tingkat Prestasi
A
Rendah/ dekat
Apatis, Stagnasi, Tidak resfonsif,
Disfungsional
rendah


Kurangnya ide-ide


B
Optimal
Bersemangat inovatif, Dorongan
Fungsional
tinggi


untuk berubah mencari solusi


C
Tinggi
Kacau, Tak ada kerjasama,
Disfungsional
rendah


tak ada koordinasi



9.1.7 Jenis-Jenis Konflik
1.             Dalam diri sendiri, seseorang bisa mengalami konflik internal karena suatu hal.
2.             Antar individu, sering karena perbedaan tentang isu, tindakan ataupun tujuan
3.             Antar anggota kelompok
a.       Subtantif (karena keahlian beda)
b.      Efektif (respon emosional atas situasi tertentu)
4.             Antar kelompok
5.             Intra Organisasi
a.       Vertikal, misalnya antara manajer dengan bawahannya
b.      Horizontal, misalnya dapat terjadi antara pegawai atau unit yang mempunyai garis hirarki yang sama dalam organisasi
c.       Lini- staf, bisa terjadi antara staf ahli misalnya dengan pejabat atau  pegawai dalam suatu lini
d.      Konflik peran, dapat terjadi karena seseorang dalam suatu organisasi mempunyai lebih dari satu peran yang kontradiktif. Misalnya seorang manajer yang merangkap sebagai ketua serikat pekerja, konflik muncul saat pegawai menuntut kenaikan upah sementara kebijakan organisasi belum saatnya menaikkan upah.
6.             Antar organisasi, konflik yang terjadi antar organisasi yang dipicu oleh adanya saling ketergantungan satu sama lain. Misalnya organisasi dengan pemasok, pelangggan ataupun dengan distributor.




9.1.8 Tahapan Konflik / Proses Konflik dalam Organisasi
Menurut Pondy yang dikutip oleh Indriyo Gitosudarmo dan Sudita mengembangkan sebuah model tentang proses konflik yang disebutnya “Conflict Episode”
Ada lima tahap sejak suatu konflik itu berawal yang akan dilaluinya sebagai suatu proses. Lima tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
1.        Latent Conflict (konflik dibawah tanah), tahap dimana muncul faktor – faktor dalam situasi yang dapat menjadi kekuatan potensial guna mendorong konflik.
2.        Perceived Conflict (konflik dipersepsikan), tahap pada waktu dimana satu pihak memandang pihak lain seperti akan menghambat atau mengancam sasarannya.
3.        Felt Conflict (konflik dirasakan), tahap dimana konflik tersebut tidak hanya dipandang atau dianggap ada, namun benar – benar dirasakan dan dikenali keberadaannya.
4.        Manifest Conflict (konflik dimanifestasikan), tahap dimana kedua belah pihak berperilaku yang mengundang respon dari pihak lainnya.
5.        Conflict Aftermath (ekor konflik), tahap sesudah konflik diatasi, tetapi masih terdapat sisa – sisa ketegangan yang tertinggal pada pihak – pihak yang bersangkutan, yang nantinya di samping hal – hal lain dapat menjadi dasar bagi “latent conflict” pada episode berikutnya.

9.1.9 Dampak Konflik Terhadap Perilaku Kelompok
Konflik seakan sudah menjadi streotif yang negative di pandangan masyarakat pada umumnya. Namun dalam kenyataannya konflik tidak selalu berdampak negative. Jika suatu konflik dapat teratasi dengan cara yang tepat dan efisien, itu akan memberikan dampak yang positif pula terhadap perilaku kelompok.     
1.         Perubahan perilaku yang terjadi didalam kelompok itu sendiri, seperti:
a.    Meningkatnya kohevitas/ keterpaduan. Hal ini terlihat dari cara pembagian tugas dan tanggung jawab.
b.    Meningkatnya loyalitas. Dalam menggunakan waktu bekerja, seperti hampir tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan yang jelas, masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam kerja setiap karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
c.    Meningkatnya gaya kepemimpinan otokratis. Dikarenakan konflik sering membuat orang didalam kelompok enggan untuk saling bertukar pendapat dalam mengambil keputusan sehingga tiap orang didalam kelompok bekerja sendiri-sendiri.
d.   Orientasi kepada aktivitas
e.    Penilaian yang berlebihan. Penilaian yang berlebihan ini cenderung terjadi antar kelompok yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kelompoknya dirasa kurang adil sehingga munculah penilaian antar sesama yang kadang dilebih-lebihkan.
f.     Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat stress bahkan produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan karier dan potensi dirinya secara optimal.
2.         Perubahan yang terjadi diantara kelompok:
a.    Menurunnya komunikasi
b.    Penyimpangan persepsi
c.    Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran, inisiatif dan kreativitas.
d.   Sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres yang berkepanjangan.

9.1.10 Mengelola Konflik Antar Kelompok
Menurut pendapat Indriyo Gitosudarmo dan Sudita (1997) ada empat strategi untuk mengurangi timbulnya konflik dalam suatu organisasi, yaitu:
1)      Strategi pengindaran (tidak mempertimbangkan sumber konflik). Dilakukan dengan cara:
·         Mengabaikan konflik
·         Pemisahan secara fisik
2)      Strategi intervensi kekuasaan (digunakan ketika kelompok yang bertikai tidak mampu menyelesaikannya sendiri). Dilakukan dengan cara:
·         Menggunakan perintah otoratif dan penerapan peraturan
·         Manuver politik. Kelompok yang mempunyai konflik masing-masing menghimpun kekuatan untuk memaksa kelompok yang lain
3)      Strategi pengembosan (hanya bertujuan untuk mengurangi tensi konflik, tidak sampai menyentuh akar persoalan). Dilakukan dengan cara:
·         Pelunakan. Dengan cara menonjolkan kesamaan/ kepentingan bersam
·         Kompromi. Tawar menawar secara fleksibel.
·         Mengidentifikasi musuh bersama
4)      Strategi Resolusi (mengidentifikasi dan memecahkan sumber yang menjadi penyebab timbulnya konflik). Dilakukan dengan cara:
·         Interaksi antar kelompok. melalui pertemuan langsung antar pimpinan kelompok yang konflik.
·         Tujuan yang lebih tinggi. Ini dapat menjadi motivasi tinggi masing-masing pihak dalam menyelesaikan masalah.
·         Penyelesaian masalah secara bersama. Ini membutuhkan waktu dan komitmen.
·         Mengubah struktur organisasi bila persoalannya didasari pada struktur.
9.1.11 Menciptakan Konflik Fungsional
Mengingat konflik yang dimensinya tidak berkelebikan dan dapat dikelola dengan tepat akan dapat menjadi konflik fungsional, konflik tipe ini justru dapat mengerek knerja ke arah yang lebih baik. Mendesain konflik jenis ini dapat dilakukan melalui:
1.      Menciptakan persaingan, dapat dibuat melalui tawaran imbalan yang lebih tinggi kepada yang kinerjanya lebih bagus baik individu maupun kelompok. Intensif financial maupun imbalan ekstrinsik yang lain akan dapat menciptakan persaingan yang lebih ketat.
2.      Mengubah struktur organisasi, disini struktur organisasi dapat dipakai sebagai alat untuk mendorong terciptanya situasi yang lebih kondusif.
3.      Mendatangkan ahhli dari luar, mendatangkan dari kalangan eksternal misalnya dalam mengisi jabatan tertentu dapat menawarkan suasana baru, ide-ide yang mengarah kepada situasi konflik yang berdimensi fungsional.




9.2    Konsep Mengenai Perundingan
9.2.1   Perundingan (Negosiasi)
Perundingan atau negosiasi adalah kegiatan yang sering mewarnai organisasi yang bisa melibatkan orang perorang ataupun kelompok, seperti tawar menawar kerja dengan pihak manajemen, perundingan manajer dengan anak buah, atau dengan kolega atau bisa juga dengan atasan yang lebih tingi, bisa juga dengan pelanggan, ataupun dengan pihak pemasok atau dengan pihak-pihak lain. Dalam perkembangan lingkungan yang begitu cepat dan kompleks keterampilan berunding atau bernegosiasi menjadi cukup penting.
Sementara Herb Cohen yang dimuat dalam buku Kewirausahaan Indonesia dengan semangat 17-8-45 (1995) mengatakan bahwa perundingan atau negosiasi tersebut adalah suatu kegiatan yang memanfaatkan informasi dan kekuatan yang dimiliki seseorang guna mempengaruhi sikap dan perilaku pihak lain dalam situasi tertentu. Sedangkan pakar lain Bill Scoot dalam buku yang sama menyatakan perudingan atau negosiasi adalah suatu bentuk pertemuan antara dua pihak, yaitu kita dan pihak lain. Sasaranya adalah suatu persetujuan.
Startegi tawar menawar ada dua, yaitu:
1.      Tawar menawar distributive, perundingan berusaha untuk membagi sejumlah tetap sumber daya.
Situasi Kalah Menang
2.      Tawar menawat intregrative, perundingan yang mengusahakan satu penyelesaian atau lebih yang dapat menciptakan suatu pemecahan.
Proses perundingan:
1)      Persuiapan dan perencanaan
2)      Difinisi aturan dasar
3)      Penjelasan dan pembenaran
4)      Tawar-menawar dan pemecahan masalah
5)      Penutupan dan pelaksanaan
Masalah dalam perundingan:
1)      Peran ciri kepribadian
2)      Perbedaan jenis kelamin
3)      Perbedayaan budaya

9.3    Hubungan Antar Kelompok dalam Organisasi
Mengenal, mengerti dan memahami hubungan orang dalam kelompok dan hubungan antar kelompok sangat penting dan besar sekali artinya dalam kepemimpinan sebab pemimpin akan dapat mengambil keputusan secara bijak, rasional dan adil. Mengabaikan kepentingan kelompok akan berakibat fatal bagi masa depan organisasi. Hubungan antar kelompok harus dibina sedemikian rupa sehingga dapat dijalin secara harmonis. Harmonisnya hubungan antar kelompok akan dapat menciptakan kinerja kelompok dan kinerja organisasi secara optimal. Dalam hubungan antar kelompok dibutuhkan sebuah koordinasi. Koordinasi adalah suatu proses di mana pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur di antara bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama. Koordinasi merupakan faktor yang sangat memengaruhi kinerja antar kelompok.
Faktor yang Memperngaruhi Hubungan Antar Kelompok
Kinerja kelompok yang berhasil merupakan fungsi dari sejumlah faktor yang berpengaruh. Konsep yang memayungi berbagai faktor ini adalah konsep koordinasi. Umumnya berpengaruh terhadap hubungan antar kelompok.
1.      Adanya saling Ketergantungan
Terdapat 3 (tiga) macam saling ketergantungan di antara satuan-satuan organisasi seperti diungkapkan oleh James D. Thompson (Handoko, 2003:196), yaitu:
1. Saling ketergantungan yang menyatu (pooled interdependence), bila satuan-satuan organisasi tidak saling tergantung satu dengan yang lain dalam melaksanakan kegiatan harian tetapi tergantung pada pelaksanaan kerja setiap satuan yang memuaskan untuk suatu hasil akhir.
2. Saling ketergantungan yang berurutan (sequential interdependece), di mana suatu satuan organisasi harus melakukan pekerjaannya terlebih dulu sebelum satuan yang lain dapat bekerja.
3. Saling ketergantungan timbal balik (reciprocal interdependence), merupakan hubungan memberi dan menerima antar satuan organisasi.
2.      Ketidakpastian Tugas antar Kelompok
Kunci utama ketidakpastian tugas adalah bahwa suatu tugas untuk diterapkan memerlukan informasi lebih banyak. Oleh karena itu jika suatu tugas mempunyai ketidakpastian yang tinggi maka ketergantungan kepada informasi yang lengkap jelas dan valid sangat dibutuhkan dan masing-masing kelompok akan sama saling membutuhkan satu sama lain atau menghadapi resiko kegagalan yang semakin besar.
3.      Orientasi Waktu dan Tujuan
Dua kelompok atau lebih akan saling bergantung satu sama lain sangat ditentukan oleh waktu dan tujuan spesifik yang melekat pada dirinya. Jika tujuan spesifik saling terkait satu sama lain dan waktu yang disediakan saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain, maka derajat ketergantungan kelompok akan semakin besar.
Metode yang Mengelola Hubungan Antar Kelompok
1.      Menetapkan Aturan dan Prosedur
Metode yang paling murah dan paling sederhana di dalam mengelola hubungan antar kelompok adalah menetapkan aturan dan prosesdur interaksi antar kelompok. Di dalam organisasi yang besar, akan dibentuk suatu departemen yang khusus memantau dan mengevaluasi hubungan antar kelompok dan jika interaksi hubungan antar kelompok tersebut ada gejala yang tidak sesuai dengan harapan, maka kelompok yang terkait akan dipanggil untuk menyelesaikan gejala tersebut.
2.      Penggunan Hirarki Organisasi
Jika metode diatas dipandang kurang tepat, maka hierarki kekuasaan yang ada di dalam organisasi menjadi alternatif kedua di dalam mengelola hubungan antar kelompok. Dengan demikian maka koordinasi akan diambil alih oleh pejabat yang lebih tinggi yang berada didalam organisasi itu. Pejabat yang lebih tinggi umumnya dapat dipandang sebagai pejabat yang efektif untuk membina hubungan antar kelompok. Sebab pejabat yang tinggi ini secara posisional  mempunyai kekuasaan yang lebih besar dan diharapkan dapat mempengaruhi hubungan antar kelompok.
3.      Penggunaan Perencanaan untuk Mempermudah Koordinasi
Alternatif berikutnya di dalam mengelola hubungan antar kelompok adalah melalui perencanaan. Jika setiap kelompok mempunyai tujuan spesifik yang hendak dicapai maka setiap kelompok telah mengetahui hak dan kewajiban yang melekat pada kelompoknya dan setiap kelompok ini akan mengetahui pada saat yang bagaimana hubungan kelompok lain perlu dilakukan. Perencanaan yang memadai dan baik cenderung memperbaiki koordinasi dan di samping itu perencanaan cenderung dapat pula alat koordinasi yang efektif dan efisien.
4.      Peran Perantara
Peran perantara sering mengarah kepada individu yang diberi tugas (pekerjaan) khusus untuk memudahkan komunikasi antar kelompok kerja yang saling terkait. Perantara yang diberi tugas khusus ini tentunya adalah orang yang dipandang cakap dan mempunyai pandangan yang luas tentang bidang organisasi dan manajemen. Di dalam organisasi yang besar sering kali memanfaatkan sarjana yang mempunyai kompetensi dibidangnya dengan beberapa pengalaman praktis dan taktis yang menunjang kompetensinya. Kelemahan utama peran perantara ini adalah adanya keterbatasan pribadi untuk menangani informasi yang mengalir diantara kelompok yang saling berinteraksi, khususnya jika kelompok berinteraksi itu besar dan interaski sangat sering dilakukan.
5.      Pelaksana Tugas
Para pelaksana tugas dapat dijadikan wakil dari sejumlah kelompok. Para pelaksana tugas sering melaksanakan tugas yang sesuai dengan bidangnya dan sering kali melakukan hubungan dengan yang lain. Para pelaksana tugas ini harus dibina sedemikian rupa guna memberi pengertian dan pemahaman mengenai hubungan antar kelompok tentang apa yang seharusnya dilakukan di dalam membina hubungan dengan kelompok lain.
6.      Penggunaan Tim
Jika tugas sudah semakin banyak dan rumit maka persoalan yang muncul dari pelaksanaan tugas akan semakin banyak dan rumit pula dan dalam keadaan demikian maka alat koordinasi yang ada sudah dianggap kurang memadai dan tidak tepat. Pilihan berikutnya adalah menyerahkan kerumitan hubungan antar kelompok ini kepada suatu tim. Tim inilah yang akan memantau dan mengevaluasi pola hubungan antar kelompok. Anggota tim berasal dari masing-masing fungsi yang ada di dalam organisasi dan ketika tugasnya telah selesai maka anggota tim ini akan kembali lagi kepada induknya. Tim pemantau ini dikarenakan mempunyai keanggotaan yang berkomposisi masing-masing fungsi maka dipandang mewakili masing-masing fungsinya sehingga hasil pantauan dan evaluasinya dipandang cukup representatif.
7.      Pembentukan Departemen Pemandu

Jika hubungan antar kelompok telah menjadi terlalu sulit dan rumit untuk dikoordinasikan melalui rencana, tugas, tim dan sebagainya, maka organisasi sebaiknya membentuk departemen pemandu. Departemen ini bersifat permanen dengan anggota yang secara formal diberi tugas untuk memadukan dua kelompok atau lebih. Departemen yang dibentuk ini akan digunakan jika organisasi sudah sangat besar dan mempunyai tujuan-tujuan yang sering berlainan arah, mempunyai berbagai persoalan yang tak rutin yang sangat rumit dan mempunyai keputusan antar kelompok yang mempunyai dampak terhadap seluruh operasi  organisasi. Departemen ini dapat dijadikan alat yang dapat diandalkan untuk menangani konflik antar kelompok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar